9. Sebuah Kecupan

811 130 6
                                    

Jantung Aran berdengap keras, setiap detaknya bergema dalam keheningan malam yang mencekam. Udara di dalam mobil mewah yang dikemudikannya terasa pekat dengan bau anyir darah. Suara rintihannya pecah, memenuhi ruang sempit itu, memantul dari jok kulit yang kini ternoda darah.

Setiap gerakan tangannya terasa berat, diiringi rasa perih dari luka yang masih mengalirkan darah hangat. Kemeja putihnya berubah menjadi merah pekat, darah yang merembes membuat tubuhnya lengket dan dingin saat angin dari jendela yang terbuka sedikit menyentuhnya. Kepala Aran terasa berdenyut, luka di pelipis kiri mengeluarkan darah segar yang perlahan mengalir ke lehernya.

Chika duduk di sampingnya, wajahnya pucat pasi. Matanya tak lepas dari lengan dan kepala Aran, setiap kali melihat darah yang mengalir, perutnya terasa mual. Bau antiseptik dari kotak P3K yang diambil Aran bercampur dengan bau anyir darah membuat Chika menahan napas.

Setelah memastikan mereka tidak lagi diikuti, Aran menghentikan mobil di jalanan sepi. Hembusan angin malam membawa aroma tanah basah dan rumput yang baru dipotong, sejenak memberikan rasa tenang di tengah kekacauan. Tanpa bicara, Aran membuka dasbor dan mengeluarkan kotak P3K. Tangannya gemetar saat membuka botol cairan pembersih luka.

"Luka lo harus diobatin," suara Chika terdengar serak, seolah berat melawan rasa takut yang mencengkeram.

"Saya tidak penting," balas Aran dingin. Tanpa peringatan, ia menarik kaki Chika dengan gerakan kasar dan meletakkannya di pangkuannya. "Diamlah, atau saya potong sekalian," ancamnya, nada suaranya tegas, matanya tajam menatap Chika.

Chika tergugu membisu, kakinya bergetar namun ia tak berani menariknya kembali. Aran membersihkan luka di telapak kakinya dengan hati-hati, sentuhan dingin antiseptik menyentuh kulitnya membuat Chika merinding. Setiap gerakan Aran terasa lembut, bertolak belakang dengan ancamannya tadi.

"Sudah selesai," ujar Aran, memotong keheningan yang menyelimuti keduanya.

"Udah?" Chika terkejut, tatapannya masih tertuju pada luka yang kini tertutup rapi dengan perban. "Cepet banget."

"Bukan hal yang sulit, kenapa harus berlama-lama. Kita harus segera pulang sebelum Tuan datang." Aran kembali mengemudi, suara mesin mobil yang menyala kembali mengisi kesunyian malam.

"Luka lo gimana?" Chika bertanya, suaranya penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. "Lukanya bisa infeksi kalo dibiarkan terbuka kayak itu, apalagi itu luka tembak."

"Tidak masalah. Saya akan mengobatinya nanti. Nona adalah prioritas utama saat ini," jawab Aran tegas, matanya fokus ke jalan di depannya.

"Lagi pula, bagian dari tubuh saya ini tidak ada yang penting, siapa yang akan peduli saya terluka atau tidak. Kami semua begitu, para pengawal yang ditugaskan untuk menjaga nona tidak memiliki hak untuk selamat, tugas kami hanyalah untuk menyelamatkan dan melindungi nona."

Chika terdiam, hatinya teriris mendengar kata-kata Aran. Ia ingin mengatakan bahwa ia peduli, bahwa ia tak ingin melihat Aran terluka. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, tertahan oleh rasa bersalah serta ketidakberdayaan.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di kediaman keluarga Harlan. Aran segera turun dari mobil, membukakan pintu untuk Chika, tangannya menyentuh lembut lengannya untuk membantunya berjalan. Luka di telapak kaki Chika membuat setiap langkah terasa seperti disayat pisau, namun ia tetap berusaha tegak.

Di teras, Chika tiba-tiba menghentikan langkah. "Jangan berenti kerja," ujarnya, suaranya hampir berbisik. "Gue mohon tetaplah jadi bodyguard gue. Ohiya gue juga minta maaf soal kejadian tadi siang."

Aran menatapnya, diam. Mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti. "Gue butuh lo. Ini permohonan, bukan perintah," lanjut Chika, suaranya penuh harap.

My Sexy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang