7. Azab Cewek Tukang Prank

544 116 8
                                    

Aran melangkah di trotoar yang ramai, di antara deru kendaraan dan percakapan riuh orang-orang. Bau asap kendaraan bercampur dengan aroma makanan dari pedagang kaki lima, membuat perutnya sedikit berontak.

Sinar matahari senja menyinari wajahnya yang letih, cahaya keemasan memantulkan bayangan panjang di jalan. Kota besar ini masih terasa asing, setiap sudutnya menimbulkan perasaan terasing yang menyesakkan dada. Tapi, ingatan tentang seorang teman yang tinggal di dekat sini memberi sedikit harapan.

Setelah mendaki ratusan tangga di Hotel Diamond, setiap langkah terasa seperti menapak di atas bara api. Otot-otot kakinya menjerit minta istirahat, setiap denyutan menambah rasa lelah yang menggerogoti semangatnya.

Akhirnya, dia menyerah lalu duduk di bangku taman di bawah pohon rindang, merasakan keteduhan yang menenangkan. Angin sore membawa kesejukan, dedaunan yang bergesekan menciptakan musik alam yang lembut, namun tak mampu mengusir nyeri yang mendera.

"Argh, jalan segini aja udah capek," desisnya, jemarinya memijit-mijit lutut yang berdenyut, merasakan kulit yang panas dan berkeringat.

Sang pengawal menghela napas panjang, merasakan udara sore yang hangat memenuhi paru-parunya. Dia menyandarkan tubuh pada kursi, tangan terlipat di dada, mata terpejam. Suara klakson yang keras ujug-ujug mengusik ketenangannya, memaksa matanya terbuka.

"Orang kaya sialan," gumamnya melihat mobil mewah berhenti di depannya, sinar matahari memantul dari permukaannya yang mengkilap.

"Mas Jefran!" Suara ceria Indah terdengar dari jendela belakang yang terbuka, menggema di tengah hiruk-pikuk jalanan.

"Indah," Suaranya serak, hampir tidak percaya.

"Ayo masuk—" Indah mulai berteriak, tetapi Chika menghentikannya dengan sentuhan lembut di tangan.

"Ndah, biar gue yang turun. Gue harus minta maaf sama dia," bisik Chika dengan nada lembut namun tegas.

"Gak! Gue gamau pergi sama si upik abu," sahut Gito, nadanya keras dan penuh kebencian.

"Heh, siapa juga yang mau jalan-jalan sama lu. Pangeran kodok!" balas Indah, suaranya nyaring, lalu dia menendang kursi depan yang diduduki Gito.

"Berisik, kalian udah janji kan, mau nolongin gue." Chika berusaha menenangkan mereka, nadanya memelas. Dia mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya dan menyodorkannya ke Indah. "Ini, pake aja sepuasnya."

Indah tersenyum lebar, matanya berkilauan. "Hehe, oke deh Kak. Bujuk Mas Aran supaya mau jaga kita lagi yaya, huss huss husss turun gih sana."

Gito hanya bisa menggelengkan kepala, napasnya berat. "Dasar mata duitan."

Setelah mobil melaju pergi, Chika mendekati Aran dengan langkah pelan, suara sepatunya berdetak halus di trotoar. Gadis itu berdeham dan memilih duduk di samping bodyguard-nya. Aroma parfum bunga lembut tercium dari dirinya. "Kata Indah lo mau resign?"

Aran meliriknya, tatapannya dingin. "Nona sudah mengetahuinya, kenapa masih bertanya?" suaranya datar.

Chika menghela napas, udara sore yang hangat terasa berat di dadanya. Dia melemparkan blazer Aran yang dibawanya dari mobil ke pangkuannya, kainnya yang lembut menyentuh kulit Aran. "Kembali kerja. Gue gak izinin lo berenti," perintahnya dengan nada angkuh.

Aran tersenyum sinis, bibirnya mencebik. "Memangnya Nona siapa? Presiden bukan, yang bayar saya juga bukan. Saya bisa berhenti kapan pun saya mau." Dia bangkit berdiri, menatap Chika dengan pandangan marah, matanya menyala.

Chika memandangi punggung Aran yang mulai menjauh, hatinya berdebar kencang, napasnya pendek-pendek. Tanpa pikir panjang, dia mencabu stilettto-nya dan melemparkannya ke arah Aran. Sepatu itu melayang di udara, menghantam punggung pria dengan suara'thud' yang tumpul.

My Sexy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang