8. Bodyguard juga Manusia

609 122 10
                                    

Aran menghentikan mobilnya dengan mendadak di jalan masuk pantai, roda berdecit melawan aspal. Udara pantai yang asin menyengat hidungnya, sementara suara ombak yang berdebur lembut terdengar dari kejauhan, hampir tenggelam oleh detak jantungnya yang kencang. Di layar ponselnya, titik lokasi Chika berdenyut, memberikan arah namun juga menambah kecemasan.

Matanya menyisir lingkungan sekitar, menangkap pemandangan yang membuat bulu kuduknya meremang. Sepuluh pria berjaket hitam berdiri berjaga-jaga, tubuh mereka kaku seperti patung di antara pepohonan yang bergoyang ditiup angin.

Kilat senja terpantul dari moncong senjata api mereka, menciptakan kilatan yang mengerikan di matanya. Dari radio yang mereka genggam, terdengar suara berderak, tanda komunikasi konstan yang penuh kewaspadaan.

Jefran yang duduk di sampingnya memukul kemudi dengan keras, suara dentuman itu memenuhi ruang sempit mobil. "Pistol gue ketinggalan di saku jas," gumamnya, nada suaranya serak penuh penyesalan.

Di telinga Aran, suara Mang Ade terdengar jelas melalui headset bluetooth, menggetarkan keheningan yang tegang. "Gimana, Ran?"

"Aku menemukannya. Chika di Coffee Beach," jawab Aran, suaranya serak. "Tapi ada banyak pria bersenjata di sini."

"Iyakah? Kalau begitu tunggu apalagi, cepatlah masuk. Nona pasti dalam bahaya sekarang."

Aran menarik napas dalam-dalam, merasakan udara asin yang masuk ke paru-parunya, menguatkan tekadnya. Dia memandang ke arah pantai, melihat ombak yang menggulung pelan, kontras dengan ketegangan yang menggerogoti dirinya.

Setiap detik terasa seperti abadi, setiap gerakan harus dipertimbangkan dengan cermat. Dengan genggaman yang semakin erat di kemudi, dia tahu bahwa dia harus bergerak sekarang, meski tanpa pistol di tangannya. Sensasi pasir yang tertiup angin menerpa wajahnya, seolah menggoda langkahnya untuk segera beraksi.

🤍🖤🤍🖤

Jefran menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa makin cepat. Langkahnya pelan tapi mantap menuju jalan masuk pantai. Suara ombak yang memecah di kejauhan terdengar seperti bisikan lembut, mengiringi desiran angin malam yang membawa aroma asin laut. Ia berusaha terlihat biasa saja, berkedok, sebagai seorang pria yang hanya ingin menikmati malam berbintang.

Namun, di bawah sinar bulan yang pucat, mata para penjaga yang berseragam hitam tetap waspada. Salah satu dari mereka, dengan jas rapi yang mengilap di bawah cahaya bulan, menghentikan langkah dengan cengkeraman kuat di lengannya.

"Anda tidak boleh masuk," katanya dengan nada tegas, suara beratnya terdengar seperti kerikil yang diseret di atas aspal.

Sang bodyguard mengerjap, seolah tidak mengerti. "Tapi kenapa? Saya sering datang ke sini. Duduk di tepi pantai, merasakan dinginnya air asin menggelitik kaki saya. Angin sejuk, suara ombak... itu semua menenangkan. Kenapa sekarang saya dilarang masuk?" Ucapannya terputus-putus, mencoba mengulur waktu.

Penjaga itu menghela napas, suaranya lebih keras. "Saya bilang tidak boleh, ya jangan memaksa, toh!" Tangannya merogoh jaket, mengeluarkan senjata yang dingin dan mengkilap, moncongnya mengarah tepat ke perut Jefran, tersembunyi dari pantauan CCTV yang berkedip di kejauhan.

Pemuda itu mundur setengah langkah, matanya melebar pura-pura terkejut. "Astaga, apa yang Anda lakukan? Saya hanya ingin menenangkan diri setelah melihat kekasih saya berselingkuh. Dan sekarang malah ditodong senjata!"

Seorang pria lain, juga berseragam hitam, mendekat. Aroma parfum mahal tercium samar saat ia menyingkirkan senjata dari tangan rekannya. "Tenang, dia hanya pengunjung yang terlalu melankolis," katanya sambil tersenyum sinis. "Di sini sedang ada sesi foto pre-wedding. Karena itu, tempat ini ditutup sementara."

My Sexy BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang