🌷 Dua Puluh. Apa Hanya Aku Yang Merasa Sendiri?🌷

12 1 0
                                    

Sepuluh laki-laki yang umurnya sekitaran 21 sampai 23 itu menatap datar permainan futsal di hadapan mereka. Terlebih pada satu manusia yang entah kemana arah pandangannya dan kemana arah pikirannya. Tubuhnya ditempat ini, namun tidak dengan konsentrasinya.

Ucapan Chantika masih terus berputar bahkan tidak pernah bisa dia lupakan, seakan hal itu harus tetap ia ingat. Adiknya dengan jelas mengatakan kalau dia membencinya.

"Sam..." Panggil Gito dengan tepukan di bahu kanannya. Tidak ada jawaban, paham hal itu Gito menggoyangkan bahu Samuel tiga kali dengan pelan. Barulah lelaki itu sadar. "Apa?" Tanya Samuel.

Gito mendesis, "Ga usah lo pikirin." Jelas Gito tau apa yang membuat Samuel diam tanpa ekspresi seperti ini. "Nanti juga kalian baikan" tambahannya.

Baikan bagaimana? Sudah sangat jauh harapan itu untuk dia dan Chantika. Semakin hari rasanya semakin jauh saja.

Samuel mengangkat bahunya, tidak bisa lagi berpikir. Biarlah waktu yang menjawab, baik buruknya mungkin itu sudah takdir.

"Kalian ga main? Bukannya mau taruhan tiket nonton bola?" Tanya Samuel saat sadar bahwa ke sembilan temannya hanya duduk di tribun kecil ini.

"Lagi males, toh kita juga bakalan kalah" jawab Eril dengan lesu.

"Ga usah ngasih kode" Amar mengatakan itu sembari menjitak kepala Eril pelan.

Eril yang di jitak mendesis sambil mengelus sekali bekas jitakan Amar. "Sorry." Ujar Eril.

Tidak ada lagi rahasia yang Samuel tutupi pada teman-teman itu. Apalagi kejadian satu tahun lalu. Saat Samuel nekat ikut dengan mereka main futsal yang berakhir dirinya kritis.

Hampir saja nyawa Samuel melayang saat itu, mereka yang belum tau penyakit Samuel berpikir cowok itu pingsan karena kelelahan tau-taunya penyakit Samuel kambuh.

Juga tentang Samuel dan Chantika yang tidak akur, hal itu mereka ketahui karna kebetulan pertengkaran mereka terjadi saat mereka berada di rumah Samuel.

"Tapi kita yakin lo bakal sembuh kok Sam, usaha sambil doa. Allah pasti kabulkan" Amar berujar serius yang di aminkan mereka dengan sungguh-sungguh.

Dari semua masalah yang ada, setidaknya keberadaan teman Samuel memberikan setitik harapan bahwa masih ada yang mau berteman dengannya.

✨✨✨

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Yang biasanya David ayah mereka sudah ada di rumah tapi jam segini masih belum terlihat.

Dua gadis yang sibuk sedari tadi memasak makanan untuk makan malam mulai menata beberapa menu yang mereka masak di meja makan. Dua tahun tinggal sendiri di Paris membuat Claire lumayan pandai memasak. Dan menu masakan hari ini cukup beragam, ada gulai ayam, teri sambal, sayur lodeh, perkedel jagung dan juga kentang mustofa yang beberapa bulan ini menjadi lauk kesukaan Chantika.

Chantika hanya bantu bantu Claire sedikit, dia hanya menyiapkan apa yang di perlukan. Bagian memasak itu kakaknya. Dia tidak cukup pandai memasak.

Terdengar suara motor yang Chantika tau itu siapa dan sepertinya kakaknya pun tau. " Samuel?" Tanya Claire setelah meletakkan satu persatu gelas di samping piring yang kosong.

Chantika mengangguk sekali, gadis itu mengisi satu persatu gelas dengan air putih.

Claire berguman kecil, dia merasa cukup degdegan. Entahlah, dua tahun pergi tanpa pamit dari mereka semua terlebih pada Samuel membuat Claire canggung. Apalagi saat itu Samuel juga sedang di rawat di rumah sakit.

Samuel memasuki rumah dengan tangan kanan memegang helm full facenya. Tadi saat masuk dia tidak merasa aneh, tapi saat masuk lebih dalam dan melihat dua wanita yang begitu ia kenal membuat lelaki itu langsung berjalan lebih cepat. Senyum lebar terukir di bibirnya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AtlanTika or AntarTikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang