HAPPY READING
.
."Bunda ke dapur dulu, ya?" pamit Keisya setelah menyelimuti tubuh Joel.
"Iya, Nda." Jawaban seadanya itu keluar dari mulut Joel, membuat Keisya tersenyum lembut, kemudian berlalu pergi.
Begitu melihat pintu kamarnya telah tertutup, Joel meraih ponsel yang ia letakan di atas nakas. Tadi setelah makan siang, Joel merasa tubuhnya sangat lemas, sehingga Keisya pun memapah Joel ke kamar untuk beristirahat. Nyatanya, Joel kini justru merasa bosan. Sejak Joel lulus SMP, Raga dan Keisya memutuskan agar Joel home schooling. Bukan tanpa alasan, pasalnya selama SMP dapat dihitung jari berapa kali Joel masuk sekolah. Hal itu membuat guru di sekolah bingung memberi nilai. Meski Joel anak yang pintar, absensi tetaplah yang utama. Bahkan saat kelas tiga SMP, seharusnya Joel tidak dapat lulus dengan absensi yang tidak mencukupi. Namun, berkat uang yang Raga keluarkan pihak sekolah pun meluluskan Joel tanpa mempersulit.
Joel menghela napas saat melihat story instagram Zacky bersama tiga temannya yang lain. Terlihat di video tersebut mereka tengah menjahili Cakra di kantin. Jika boleh jujur, Joel rindu dengan sekolah. Suasana kantin yang ramai, kegiatan belajar yang terkadang membuat pusing. Joel merindukan semua itu.
Dulu saat masih SMP, Joel merupakan siswa yang dikenal banyak orang, selain karena penyakitnya Joel juga merupakan anak yang ceria. Semua orang mau berteman dengan Joel, tanpa membedakan Joel yang sakit. Meski begitu, Joel hanya dekat dengan Zacky, Cakra, Arkan, dan Nakula.
Merasa kepalanya sedikit pusing, Joel pun meletakan ponselnya di sisi kosong kasurnya lalu memejamkan mata. Joel hampir tertidur, tetapi ponselnya berdering membuat ia kembali membuka matanya. Layar ponselnya memperlihatkan bahwa Zacky berusaha menghubunginya melalui video call. Joel tersenyum tipis, lalu menerima panggilan tersebut.
"Jo! Lo liat temen lo yang cengeng ini, Jo!" Baru saja telepon terhubung, suara Zacky sudah memenuhi gendang telinga Joel.
"Kalian yang jahilinnya kelewatan," balas Joel membuat Cakra yang tengah cemberut tersenyum lebar karena dibela oleh Joel. Joel merasa senang saat melihat keempat temannya memenuhi layar ponsel. "Kalian ga main ke sini?" Joel bertanya dengan harapan teman-temannya mau bertamu ke rumah hari ini.
"Mau, sih, tapi belum bisa, njir. Banyak tugas, kan mau ujian juga bentar lagi. Bisa ngamuk nyokap gue kalo sampe ga naik kelas," jawab Nakula yang mendapat anggukan dari Cakra, Zacky, dan Arkan.
Joel menyimpan kekecewaannya dalam-dalam. Enggan memperlihatkan hal tersebut. "Oh, gitu. Ini sekarang ga belajar emang?" tanyanya lagi.
"Lagi istirahat, masih sisa sepuluh menit lagi, kok, baru masuk." Kali ini Arkan yang menjawab.
Joel mengangguk paham. "Gitu. Itu tadi Cakra kalian apain, deh?"
"Baksonya kita kasih saos. Lebay banget sampe merah mukanya, padahal cuma saos tomat." Arkan menjawab, dapat ditebak bahwa ide menjahili Cakra kali ini berasal dari Arkan.
"Itu saos cabe, ya! Pedes banget gila, kalian aja ga berani nyicip, kan?" bantah Cakra.
Joel terkekeh pelan melihat teman-temannya mulai berdebat. Mereka asyik berdebat hingga lupa pada Joel yang hanya menjadi penonton. "Eh, udah masuk, Jo. Gue matiin, ya, bye, Joel. Cepet sembuh, ya!" Setelahnya layar ponsel Joel gelap.
"Mereka ga nanyain kondisi gue, apa gue emang ga penting lagi, ya?" Joel menghela napas. Perasaannya menjadi sensitif saat hasil evaluasi terakhirnya menunjukkan ada sel kanker baru yang tumbuh di tubuhnya. Pikiran-pikiran negatif terus memenuhi kepalanya, hingga terkadang kepala Joel sakit dibuatnya.
"Mau nyerah aja. Udah buang-buang duit, sembuh juga engga." Pikiran itu kembali terlintas dibenaknya. Terkadang Joel juga memikirkan berapa banyak uang yang orang tuanya keluarkan sejak pertama kali ia didiagnosis mengidap kanker darah? Seharusnya uang itu bisa digunakan untuk masa tua orang tuanya.
Joel berusaha bangun dari posisi tidurannya saat merasa haus. Ia meraih gelas yang ada di nakas, lalu meminum airnya hingga tersisa setengah. Tangan Joel memijit pelan keningnya saat rasa sakit kembali membuat pandangan Joel buram. "Astaghfirullah ...." Joel menolehkan kepalanya saat mendengar suara Mahesa dari arah pintu kamar.
"Adek, ya ampun, itu kamu mimisan," panik Mahesa bergegas mengambil tisu di nakas dan mengelap darah yang mengalir dari hidung Joel.
Joel sadar saat darah itu mulai keluar dari hidungnya, tetapi ia terlalu malas untuk mengambil tisu. Ia sudah biasa menghadapi hal ini. Berbeda dengan Mahesa, meski sudah sering melihat Joel yang mimisan secara tiba-tiba, Mahesa tetap tidak pernah terbiasa. Rasa khawatir selalu memenuhi dirinya saat melihat wajah pucat Joel
"Pusing?" tanya Mahesa saat pendarahan di hidung Joel telah berhenti. Melihat Joel mengangguk pelan, Mahesa pun mengelap baju Joel yang sedikit terkena darah lalu membaringkan Joel perlahan. "Tiduran, biar Aa pijit kepalanya." Mahesa duduk di samping Joel. Memijit pelan kepala Joel, terkadang mengusap rambut halus yang mulai tumbuh di kepala adiknya.
"Aa, menurut Aa Adek berharga ga?" Mahesa tersentak kaget saat mendengar pertanyaan Joel.
"Hei, adeknya Aa selalu berharga! Kamu itu yang jadi matahari di rumah ini, Dek. Kalo ga ada Adek, rasanya sepi banget," jawab Mahesa, "tanpa Adek, Aa ga bakal ketemu sama Cece, loh. Jadi, Adek itu berharga banget!" Kali ini Mahesa sedikit memberi candaan pada kalimatnya.
Joel masih diam, ia belum percaya dengan jawaban Mahesa. "Tapi tadi, di telepon Zacky ga tanya kondisi Adek gimana. Mereka malah asik bercanda ga merhatiin Adek," kata Joel menceritakan kejadian yang baru saja ia alami. Jika bersama Mahesa, Joel terkesan lebih manja dan suka menggunakan panggilan 'adek' untuk dirinya sendiri.
Mahesa tersenyum hangat. "Mereka bukan ga peduli, Dek. Mereka ga mau bikin Adek sedih dengan tanyain kondisi Adek gimana. Adek tau sendiri dari dulu Adek bilang seneng temenan sama mereka karena ga pernah beda-bedain adek, kan?" Mahesa diam sejenak menunggu jawaban sang adik. Begitu melihat Joel menganggukan kepalanya, Mahesa kembali berkata, "Mereka masih sama, Dek. Tiap hari mereka chat Aa sama Mas buat tanya kondisi Adek. Katanya, kalau Adek lagi fit mau diajak main. Tapi, dari kemarin, kan, Adek masih lemes banget, jadi belum bisa main." Mahesa memberi penjelasan dengan perlahan. Berharap Joel tidak salah tangkap dan kembali berpikir negatif.
"Maaf, Adek jadi sensitif banget, ya, A?" Tangan Joel memainkan selimut yang ia kenakan tanpa melirik Mahesa.
"Engga, kok. Itu wajar, Aa juga sering ngerasa ga diperhatiin kalo Adek lagi sama Ayah. Adek kalo udah sama Ayah pasti ga inget sama Aa. Jadi wajar, kok, itu bukan sensitif. Semua orang pasti pernah ngerasain." Sekali lagi, Mahesa harap Joel tidak salah paham dengan penyampaiannya.
Syukurlah Joel tersenyum kebar setelah mendengar penjelasan Mahesa. "Aa, makasih!" serunya meski dengan suara lirih karena tubuhnya yang lemas. "Aa, aku mau bikin wishlist!" Joel menatap Mahesa dengan binar indah di matanya.
Mahesa mengernyitkan keningnya sebelum mengangguk dan tersenyum hangat. "Boleh, kalau itu bisa bikin adeknya Aa semangat buat berobat lagi."
Apa pun akan ia lakukan agar dapat terus melihat senyuman indah Joel. Ya Allah, hamba mohon, berikan kesembuhan pada adik hamba.
.
.-tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Joel's Wishlist [TERBIT]
Teen Fiction"Kesehatan itu harus berjalan bersama kebahagiaan" - Joel Prince Adhytama