[1] Hantu Masa Lalu

53 6 22
                                        


Oktober 2018

"Mau sekolah ke Scotland?"

Hezki menyeruput minumannya sampai tandas lalu meremukkan botolnya. Biasanya siang yang terik begini, Hezki nongkrong di atap sekolah karena anginnya cukup kencang dan ada tempat berteduh di dekat gudang. Namun, sudah sebulan lamanya, Robin mengajaknya nongkrong di dekat lapangan basket. Meski ada pohon rindang yang menghalau sinar mentari, tidak ada angin sejuk yang berembus.

Robin juga sebenarnya bukan orang yang suka nongkrong di luar kelas. Kalau tidak mendinginkan kepala di perpustakaan, dia biasanya tidur siang di kelas. Bukan tanpa sebab kedua murid Kelas A+ itu jadi nongkrong di pinggir lapangan basket. Cowok yang kemeja seragamnya tidak dimasukkan ke celana di antara mereka berdua yang menjadi sebab kedua cowok itu rela berpanas-panasan di pinggir lapangan.

"Jauh amat mikir sampai sana," timpal Hezki, mengipasi dahinya yang mulai berkeringat. "Emangnya lo bisa hidup di luar negeri sendirian?"

"Heh!" tegur Robin dengan dahi berkerut. "Nggak boleh mengecilkan impian orang tahu! Bagus dong Axel ada keinginan sekolah yang jauh sekalian, daripada lo yang nggak jelas mau kuliah apa habis ini."

Hezki berdecak mendengar ceramah Robin. Pandangannya beralih ke cowok yang baru saja melepas kemejanya dan mengibaskannya karena basah setelah bermain basket bersama teman-teman sekelasnya tadi. "Alasan milih Scotland apa?"

Axel mengedik, "Nggak ada alasan khusus. Gue suka aja sama negaranya. Biaya hidup di sana nggak semahal di London juga. Dan emang gue pengen ngebuktiin ke diri gue sendiri kalau gue bisa."

Robin bertepuk tangan mendengarnya, sedangkan Hezki hanya ber-oh ria. Menurut Hezki, sebenarnya peluang Axel masuk ke sekolah yang mengandalkan fisik lebih besar daripada yang mengandalkan otak. Kemampuan motorik Axel cukup baik dan dia memang rajin olahraga. Apalagi dia bergabung dengan klub basket sekolah. Namun, Hezki enggan berkomentar kalau tidak mau diceramahi Robin lagi seperti tadi.

"Terus lo mau cerita itu doang sambil ngajakin kita nongkrong panas-panas di sini?" keluh Hezki lagi.

Robin berdecak karena keluhan yang dilontarkan Hezki bukan pertama kalinya dia dengar. Sedangkan Axel hanya bisa tertawa pelan melihat ketidakakuran kedua temannya itu.

"Nggak juga sih, gue kan mau pamer kalau hari ini gue berhasil dapat nilai A di pelajaran Fisika," sahut Axel, mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto kertas hasil ujiannya.

"Woah, ini baru hal yang patut dirayakan!" seru Robin. Tidak sia-sia dalam dua minggu terakhir dia mengajari Axel setelah rela berpanas-panasan menungguinya selesai bermain basket bersama anggota ekskulnya. Robin menatap antusias ke Hezki. "Lihat kan? Gue nggak melakukan pekerjaan sia-sia!"

Hezki masih memangku kepalanya dengan tangan. "Yeah, congrats," ujarnya datar.

Dengan gemas, Robin mendorong Hezki dari posisi jongkoknya sehingga membuatnya jatuh dan mengotori celananya. Hezki mengumpat dengan kasar karena perbuatan Robin. Namun, Robin dan Axel menatapnya sambil terbahak-bahak.

"Doain gue biar bisa sepinter kalian, meski gue nggak termasuk ke murid spesial Angkasa Wisesa. Minimal gue punya temen spesial yang bantu gue buat mencapai cita-cita yang ketinggian itu."

Hezki tidak berniat memberi kata-kata penyemangat kepada Axel, tapi Robin langsung menepuk-nepuk pundak cowok itu. "Lo pasti bisa, Xel. Dengan atau tanpa bantuan kami."

*

13 Mei 2023

TOK! TOK!

Hezki mendongak ketika mendengar suara ketukan pulpen yang menyadarkannya dari lamunan sekejapnya tadi. Pak Wahyu, dosen pembimbingnya, tengah menatapnya dengan alis terangkat. Seperti baru tersadar dari tidur panjang, dengan kebingungan Hezki menatap kertas di tangannya.

LIES BEHIND USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang