"Jas-Jason, kita cuma bercanda kok. Ya kan, Em? Kita ngobrol aja dari tadi bercanda-canda doang–"
Kalimat Nino tidak pernah selesai, karena dalam sekali tarik cowok itu sudah ada dalam kuncian Jason. Nino bergerak-gerak berusaha melepaskan diri sambil meneriakkan nama Rasta, meminta pertolongan, tapi cewek itu hanya berdiri diam. Emma tak bisa melihat ekspresi mereka dalam kegelapan dari tempatnya berdiri sekarang, tapi Emma tahu kengerian yang tergambar dari suara Nino.
"Berapa lama tadi lo ngeginiin Emma, No?"
Suara tercekat Nino menyadarkan Emma kalau cowok itu sudah kepayahan. Emma memanfaatkan kesempatan itu untuk menarik si murid yang ditindas geng Rasta. Ternyata dia menunduk sambil menangis ketakutan. Emma menyuruhnya pulang tanpa perlu menghabiskan waktu lebih lama lagi di sekolah. Setelah memastikan murid itu hilang dari pandangannya, Emma mendekati Jason dan menepuk lengan cowok berkostum Joker itu.
"Jas, udah. Ayo pergi."
Tak perlu meminta dua kali, Jason melepaskan kunciannya pada Nino dan mengekori Emma yang melenggang pergi sambil merapikan ikatan rambutnya yang berantakan. Emma bisa dengan jelas mendengar umpatan Nino di belakangnya, tapi yang membuatnya merinding adalah tatapan Rasta ketika mereka saling berpandangan sebelum Emma pergi.
Emma tak segera kembali ke auditorium tempat acara masih berlangsung. Dia memilih kembali ke ruang OSIS yang menjadi basecamp Komite Disiplin Red Kites. Emma melemparkan tubuhnya ke satu-satunya sofa di ruangan itu, menatap kesal cowok yang baru saja melewati pintu yang sengaja dia biarkan terbuka. Cowok itu duduk di bean bag yang ada di dekat sofa tempat Emma duduk.
"Thanks," ujar Emma tulus. Setelah meneguk air mineral, tenaganya pulih kembali. Emma mengikat rambutnya tinggi-tinggi karena kegerahan akibat drama yang baru saja terjadi. "Gue nggak tahu bakal sebabak belur apa kalau lo nggak datang, Jason."
"Gue jadi paham, kenapa lo pura-pura nggak kenal gue."
Berbeda dengan kantin tadi, ruangan OSIS terang benderang, membuat Emma bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Jason meski tertutup riasan Joker. Seumur-umur mengenal Jason, Emma tidak pernah melihat ekspresi itu. Bahkan saat Jason tahu kalau fans-nya semasa SMP mengganggu Emma. Rasa bersalah tergambar jelas di wajah Jason, atau Emma bisa bilang, ekspresi takut.
"Bu-bukan itu masalahnya," sahut Emma, sedikit tergagap karena canggung. "Gue dan lo nggak bisa sama-sama terus. Gue punya circle sendiri, lo juga. So be it. Nggak usah saling mencampuri kehidupan satu sama lain, bukan berarti gue nggak mau temenan sama lo."
Seringai muncul di wajah Jason, meski kepedihan masih tergambar jelas di sorot matanya. Emma yakin orang yang baru mengenal atau hanya mengenal luarnya Jason, tidak pernah tahu arti dari senyuman mengerikan cowok itu. Awalnya Emma juga kesal melihat Jason menyeringai ke arahnya, seolah merendahkan. Namun, setelah mengenal lebih dekat, Emma bisa menyimpulkan bahwa itu senyum yang terbentuk dari banyak luka.
"Yah, gue rasa lo selalu benar, Em."
Jason berdiri, merenggangkan pinggangnya, dan menatap Emma dengan kepala ditelengkan. "Sekarang gue tanya, lo pengen gue pergi dari hidup lo selamanya, apa lo masih pengen ada gue di sini?"
"Pertanyaan apa itu?" balas Emma gusar. Entah kenapa, jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Dia bahkan merasa malu menatap Jason langsung ke matanya.
"Say, Emma," bisik Jason, yang tiba-tiba sudah ada di depan wajah Emma. "Semua anak Kelas A+ tahu kalau gue nggak akan pernah menyentuh lo. Yang mereka nggak tahu, kita berdua mengenal jauh lebih lama dari sekadar teman SMP."
"Ya terus?" Emma berusaha mengalihkan pandangan, tapi matanya tak kuasa melirik kembali ke arah Jason yang sekarang tersenyum ke arahnya. Tersenyum, bukan menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIES BEHIND US
Bí ẩn / Giật gân"If lies can save lives, then telling the truth is a crime?" Hezki tiba-tiba mendapat kabar kalau Axel-sahabat lamanya, muncul di acara peringatan empat tahun kematian Robin. Sejak kematian Robin, Axel menjauhi Hezki dan menghilang sehari setelah ke...