[9] Perburuan

17 4 0
                                    


17 Juni 2023

"Hezki lo butuh dipeluk nggak sih?"

Emma menyeka ingusnya yang ikut keluar bersama air matanya sejak Hezki menceritakan malam kematian Robin. Cewek itu tak mengira kematian salah satu anak Kelas A+ yang sempat menghebohkan sekolahnya waktu itu ternyata setragis itu. Apalagi Emma baru mendengar versi dari saksi terakhir sebelum Robin meninggal dari orangnya langsung.

Hezki mengibaskan tangannya dengan ekspresi terganggu. "Nggak usah lebay, Emm. Lo sendiri yang bilang nggak perlu berduka berlarut-larut."

"Bang, jangankan Emma, gue aja udah denger cerita itu, denger lagi masih sedih," balas Janu, yang menyeka sudut matanya.

Melihat dua orang di depannya sentimentil, Hezki hanya tersenyum kecut dan menyandarkan kembali punggungnya. "Itu kenapa gue pengen banget nemuin Axel, karena kalau menurut cerita tetangga Axel, beberapa hari sebelum malam itu, Axel dipukuli."

Emma menyeka ingusnya sekali, lalu wajahnya berubah serius. "Dipukuli sama siapa?"

"Entah," lanjut Hezki. "Yang jelas, dia berkelahi. Dengan siapa dan penyebabnya siapa, lalu apa berhubungan dengan penyekapan Robin, gue belum tahu sejauh itu. Itu yang pengen gue tahu. Karena ... Axel dipukuli sampai kakinya pincang–"

"Argh!" Emma berteriak dan mengatupkan tangannya, teringat sesuatu. "Axel memang sedikit aneh jalannya, waktu gue ketemu! Dia memang agak pincang!"

Dahi Hezki mengernyit. "Serius? Lukanya permanen?"

Rasa aneh membuat dada Hezki sesak. Selama empat tahun terakhir, Hezki mengira Axel meninggalkan Robin dan mencampakkan dia. Namun, kini Hezki tahu, kondisi Axel sejak malam itu sama-sama buruk. Bahkan di hari kelulusan, Axel tidak menceritakan apa yang terjad padanya dan tidak pernah minta tolong sedikit pun pada Hezki ketika dia dipukuli.

"Sebenarnya, kalian ini terlibat apa sih?" Emma bertanya dengan hati-hati.

Tubuh Hezki menegang, matanya menatap Emma tajam. "Kami semua terlibat dengan satu setan bernama Jason Kamadirga. Dialah penyebab semua kesialan di dunia ini terjadi pada kami."

Sesaat suasana di antara mereka bertiga terasa kontras dengan keriuhan di kafe siang itu. Baik Hezki maupun Emma tenggelam dalam pikirannya masing-masing, sementara Janu sibuk menuliskan sesuatu di ponselnya. Bahkan Emma mendadak merasa canggung dengan Hezki. Sebelum ini mereka jarang berkomunikasi dan sekalinya bicara dalam jangka waktu panjang, itu semua menyangkut orang lain.

"Jadi, tujuan kita sekarang adalah menemukan Axel." Janu mengagetkan Hezki yang diam-diam mengamati Emma. Janu menyodorkan ponselnya ke tengah meja dan menunjuk layarnya. "Terakhir dia terlihat di Jogja sekitaran kampus Emma, bekerja di tempat fotokopi, tapi sekarang udah nggak di sana."

Rupanya Janu membuat semacam mind map di notes ponselnya. Telunjuknya menunjuk ke bagian nama Axel dan Jason. "Bang Hezki curiga Axel ada hubungannya dengan Jason dan terlibat kematian Robin. Udah berusaha menemui Jason, tapi jalan buntu. Jadi satu-satunya cara adalah mencari Axel sendiri."

"Menelusuri Jogja itu bukan hal mudah," imbuh Hezki, menyeruput tetes terakhir minumannya.

Janu menggeleng cepat, "Dari awal nggak ada opsi itu, Bang. Lo juga nggak berniat pakai akses lo, gue nggak tahu sih, tapi rasanya akse itu terlalu berisiko ya?"

Hezki tak berujar, hanya mengangguk. Harga yang dia bayar untuk informannya itu cukup mahal, dalam tanda kutip. Kalau masalah uang, dia bisa mengusahakan dari tabungannya, tapi terkadang informannya ini meminta hal yang sedikit melanggar hukum. Harga termahal yang pernah Hezki bayar adalah ketika dia minta bantuan melacak Jason di malam kematian Robin. Dia harus merelakan nuraninya terkubur dengan membantu sang informan dalam melenyapkan bukti perundungan kliennya yang lain. Kalau tidak benar-benar terpaksa dan menyangkut nyawa, Hezki jarang menggunakan jasa itu.

LIES BEHIND USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang