[10] Riverside

17 4 0
                                        

23 Juni 2023

"Lo yakin ini rumahnya, Em?"

Sekali lagi Janu melihat ke arah maps di ponselnya dan memastikan mereka berada di tempat yang tepat. Di depan mereka berdiri sebuah rumah mungil yang diapit oleh rumah petak lainnya. Bahkan sebenarnya Janu kurang yakin itu bisa disebut sebagai rumah yang layak untuk dihuni karena atapnya miring dan cat temboknya sudah mengelupas parah.

"Ini tuh ...." Janu menoleh ke kanan dan kirinya, lalu ke arah sepupunya dan berbisik. "Perkampungan kumuh di pinggir kali, lho."

Emma hanya mengedikkan bahu. "Gue kemarin mau ke sini, tapi temen gue ngelarang gue pergi sendiri. Karena mereka juga nggak pada bisa gue ajak, ya udah gue nunggu kalian datang ke sini."

Janu menoleh ke Hezki yang tampak bengong melihat keadaan rumah di hadapannya. Emma mendapatkan nomor ponsel Axel dan alamatnya, tapi Janu sendiri sangsi kalau alamat yang diberikan Axel ke mantan bosnya di fotokopian itu benar adanya. Bahkan dia mulai ragu kebenaran data yang disampaikan Axel begitu mereka harus memarkir mobil di pinggir jalan dan menyeberang jembatan untuk sampai di perkampungan di dekat Kali Code.

"Bang, mau coba ketok?"

Seperti ada energi listrik yang mengaliri tubuhnya, Hezki terperanjat dan sempat kebingungan. Sesaat tadi dia sempat membayangkan bagaimana kehidupan Axel di rumah yang luasnya mungkin hanya sepertiga rumahnya yang di Jakarta dulu. Rasanya Hezki semakin tidak punya muka kalau bertemu dengan Axel sekarang.

Baru saja Hezki akan melangkahkan kakinya ke depan pintu rumah yang setengah terbuka itu, Emma sudah mendahuluinya. Sedikit keras Emma mengetuk pintu rumah itu sambil mengucap salam dalam Bahasa Jawa. Setelah beberapa kali mencoba, seseorang menjawab panggilannya dan Emma memberi kode pada Hezki untuk menyerahkan semua ini padanya. Hezki menurut, mungkin lebih baik membiarkan Emma menangani pembicaraan dengan orang Jogja daripada dirinya.

Seorang lelaki berkulit gelap yang sedikit bungkuk menghampiri Emma. Dia hanya berbalut kaus dalam putih dan celana pendek. Wajahnya seperti orang baru bangun tidur karena matanya memerah dan rambutnya yang panjang sebahu terlihat berantakan. Janu maju beberapa langkah, tampak waspada akan keselamatan sepupunya yang berjarak begitu dekat dengan lelaki itu.

"Nyari siapa?" tanya lelaki itu dalam bahasa Jawa. Janu dan Hezki tidak memahaminya, tapi menerka-nerka kalau lelaki itu menanyakan tujuan mereka.

Emma menunduk sekali, memperkenalkan diri, dan mengatakan tujuan mereka datang dalam bahasa Jawa. "Jadi apa benar ini rumah Axel?"

Lelaki itu menaikkan alisnya. "Nggak kenal," jawabnya dengan bahasa Jawa yang medok. "Kalian siapa?"

"Oh kami temannya, tapi kami hilang kontak. Jadi ingin tahu kabarnya sekarang," balas Emma dengan bahasa Jawa yang fasih. Janu dan Hezki hanya bisa mengangguk, meski kurang yakin dengan apa yang dimaksud dengan percakapan kedua orang di depannya.

"Di sini orangnya banyak, saya nggak hapal siapa saja anak mereka. Mungkin bisa tanya Pak RT."

Kalimat pamungkas lelaki itu membuat Emma berpamitan setelah mendapatkan alamat rumah Pak RT yang dimaksud. Janu dan Hezki berterima kasih dalam bahasa Jawa yang kaku kepada lelaki itu yang langsung menutup pintunya rapat-rapat tanpa repot membalas ucapan kedua cowok itu.

"Keren banget lo, Em. Baru berapa tahun di Jogja, udah fasih banget bahasa Jawa-nya udah kayak warga lokal gini," ujar Janu begitu mereka sudah agak jauh dari rumah salah alamat tadi. "Gue serahin ke lo lah masalah komunikasi di sini, gue gagal paham obrolan kalian tadi apa aja."

Emma mendengkus. "Bisa apa lo tanpa gue?" Cewek itu lalu melirik Hezki yang sibuk melihat rumah-rumah di sekelilingnya. Ekspresinya tidak bisa ditebak. "Oh ya gue rasa akan susah nyari Axel di sini. Rumahnya banyak dan kita nggak tahu pasti alamatnya. Gue rasa kalau Pak RT nggak tahu juga, sebaiknya kita cari cara lain."

LIES BEHIND USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang