[5] Coffee Time

15 4 0
                                        


Wajah licik Jason tidak pernah berubah. Hezki tidak pernah melupakan senyum culas cowok itu, meski sekarang fisiknya berubah cukup banyak. Jason yang dulu berperawakan tinggi kurus dengan potongan rambut rapi. Ada bekas tindik di telinga kanannya dan Hezki pernah melihat tattoo di bahu kirinya secara sekilas–jadi dia juga tidak tahu gambar apa. Selain tatapan dan senyumnya, Hezki tidak terlalu terintimidasi dengan tingginya yang mencapai 180 sentimeter.

Sekarang, di hadapannya duduk Jason versi lebih dewasa dengan rambut gondrong yang ditata rapi dan tubuh yang lebih bulky terutama di bagian torso. Kardigan yang dikenakannya membentuk otot bisepnya dengan cukup jelas, membuat Hezki sedikit khawatir dihajar dengan otot-otot itu. Dia sendiri tidak banyak berolahraga yang membentuk otot, hanya untuk kebugaran saja, itu pun kadang-kadang saja kalau ingat atau kalau sedang bosan di indekos.

Setelah ajakan Jason–yang menurut Hezki terdengar seperti ancaman, Hezki akhirnya menyetujui permintaan Jason untuk ngobrol sambil coffee time. Hezki menurut saja ketika Jason menawarkan menu andalan kafe barunya, lebih karena dia benar-benar tidak tertarik makan atau minum apa pun saat ini.

"Kalau gue nggak salah inget, lo kuliah di Bandung, kan?"

Hezki tertawa keras di dalam hati. "Nggak perlu salah inget, lo pasti tahu betul gue kuliah di mana."

Berbeda dengan Hezki, Jason terang-terangan tertawa keras. "Memang karakter orang nggak akan gampang berubah ya? Yah, anggap aja gitu, makanya gue ajakin lo ke sini sekalian pamer kafe baru."

Bisnis-bisnis cuci uang begini mau dipamerin, keluh Hezki dalam hati.

"Jadi kemarin lo dateng acara peringatan kematian Robin?" tukas Hezki.

Setelah menyeruput cappuccino-nya, Jason berdeham, "Iya, tapi gue bentar doang. Lo telat, ya?"

"Lo dateng bareng Axel?"

Hezki yakin melihat alis kanan Jason berkedut sekali.

"Sebenarnya, gue nggak benar-benar ketemu dia. Gue rasa lihat orang yang mirip dia–"

"Jangan bercanda, Jason," balas Hezki, menatap tajam ke arah lawan bicaranya.

Tanpa memedulikan wajah Hezki yang berubah marah, Jason kembali menyesap minumannya. "Memangnya lo lebih tertarik dengan kehadiran cecunguk itu daripada kehadiran gue?"

Hezki menelan ludah. Pandangannya mengedar ke sekitar dengan cepat. Ada banyak orang yang berada di kafe itu, tapi Jason berani mengangkat isu sensitif. Jason pasti tahu dampaknya terhadap bisnis keluarganya kalau ada rumor Jason terlibat dengan kematian Robin. Hezki jadi lebih waspada dengan maksud tersembunyi Jason mengajaknya bertemu di sini.

"Sebenernya gue lebih penasaran, kenapa lo tega ngelakuin hal itu ke Robin," balas Hezki, berusaha menahan getaran pada suaranya. "Maksud gue, dari awal ... Robin selalu ada di pihak lo."

Sekali lagi alis kanan Jason berkedut. "Ngelakuin  apa? Kami hanya minum-minum seperti biasa."

"Robin nggak minum, lo paksa dia minum. Nggak usah berkelit, Jason. Selama ini gue diam karena gue nggak mau orang tua Robin tahu kalau lo pelaku pem–" Suara Hezki tercekat karena dia langsung sadar alasan kenapa Jason membawanya ke tempat ramai alih-alih ke tempat yang lebih privat. Tentu saja untuk mencegahnya menyudutkan Jason.

Sialan, kenapa nggak kepikiran! umpat Hezki ke dirinya sendiri dalam hati.

"Pelaku apa?" ulang Jason. Senyumnya terkembang ketika melihat Hezki mati kutu. "Gue menyayangkan kejadian malam itu, Hez. Yang jelas gue baru tahu setelah itu kalau Robin mengonsumsi DEPP lebih dari yang Axel kasih ke dia."

LIES BEHIND USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang