[11] Night Club

14 4 0
                                    


"Kok bisa-bisanya lo nggak tahu dia ke mana sih, Jan!"

Emma memelotot sampai Janu takut bola mata sepupunya itu menggelinding keluar. Cowok itu menggaruk-garuk kepalanya tanda mengakui kesalahannya sendiri.

"Gue tadi ketiduran habis mandi, bangun-bangun, Bang Hezki udah nggak ada," aku Janu, melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam sore. "Gue nelpon nggak diangkat juga."

Emma menghampiri kedua cowok itu lagi sore harinya selepas beristirahat sejenak dan membersihkan diri di indekosnya. Selepas mengantarnya ke indekos, Hezki dan Janu pergi ke hotel dengan taksi online. Emma tidak mengira Hezki akan nekat pergi berkeliaran sendirian di Jogja, kota yang katanya baru pernah dia datangi dua kali seumur hidupnya.

"Nggak bisa dilacak gitu?"

Janu menggeleng. "Kalau bisa, gue nggak akan kebingungan gini. Google Account-nya nggak ngelink ke gue kayak punya lo. Gue rasa dia nemuin petunjuk terus dia pergi sendirian."

"Kenapa lo berasumsi gitu?" Emma melipat tangannya di depan dada.

Janu mengusap dagunya. "Pas gue kelar mandi, Bang Hezki kayak nelpon seseorang, terus mukanya serius banget. Habis itu dia sibuk sama hape-nya dan pas gue bilang udah kelar mandi, dia langsung ke kamar mandi. Nungguin dia mandi, gue malah ketiduran."

Emma berdecak kesal. "Terus sekarang kita nyari dia ke mana? Masa sih dia balik lagi ke Kali Code?" Emma membuka ponselnya dan berusaha menelepon Hezki, tetapi sama seperti Janu, Hezki tidak mengangkatnya. "Emangnya dia inget tadi kita ketemu Axel di sisi sebelah mana?"

"Jangan-jangan ... Bang Hez menghubungi informannya yang katanya hanya mau dibayar mahal itu?"

Emma menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia merebahkan diri di kasur hotel dengan kesal. "Ya kalau gitu, kenapa dari awal kita repot-repot ke Kali Code. Kenapa nggak dari awal dia nanya informannya itu yang pasti udah tahu lokasi Axel?"

"Sependek yang gue tahu tentang Bang Hezki, kalau sampai dia nggak pakai informan itu sampai saat terakhir, harga yang harus dibayar mungkin benar-benar mahal," ujar Janu, lalu menambahkan, "Dan gue rasa itu bukan dalam bentuk uang."

Emma bangun dan duduk dengan kaki bersila. "Hezki ini emang orangnya misterius begini ya? Kok kayaknya dari kalimat lo barusan, dia terlibat sama orang-orang nggak baik?"

"Gue rasa, semua anak Kelas A+ nggak pernah ada yang normal kehidupannya," balas Janu. "Kalau lo tahu kekacauan apa yang terjadi setahun belakangan, lo bakal bilang itu semua hanya skenario yang dibuat orang lain, bukan kehidupan nyata anak SMA."

Emma tertegun. Janu pernah menceritakan secara singkat apa yang terjadi di almamaternya itu. Tentang pelecehan yang dialami seorang murid, terbunuhnya murid teladan, sampai kasus obat terlarang bernama DEPP. Bahkan kasus obat terlarang itu ternyata merenggut nyawa teman seangkatannya juga. Diam-diam Emma bersyukur tidak harus berada di kelas spesial itu. Mungkin dia tidak akan kuat.

"Daripada diem aja di sini, mending kita cari makan keluar sekalian ngelewatin tempat kemungkinan Hezki pergi. Nanti kita lewatin Kali Code lagi ya," usul Emma yang langsung disetujui oleh Janu.

Sebelum pergi, Emma mengetikkan pesan ke Hezki agar mengabari keberadaannya. Meski baru kali ini mereka mengobrol dan berhubungan lebih dekat, Emma sendiri tidak yakin terhadap penilaiannya pada Hezki. Dia belum mau percaya pada cowok itu sepenuhnya, apalagi latar belakangnya yang berasal dari Kelas A+. Semua orang yang pernah dia temui dan berasal dari kelas itu, rata-rata memiliki maksud tersembunyi yang terkadang merugikannya.

Emma dan Janu baru saja selesai makan malam di dekat kawasan Malioboro, ketika ponsel Emma berbunyi. Melihat nama yang tertera di layarnya, sontak Emma mengangkat telepon itu tanpa memberi tahu Janu yang sedang mengantri bayar.

LIES BEHIND USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang