01. Kamis di bulan Mei

33 11 0
                                    

***

Aku Nakala Januar Sanjaya.

Pagi ini, dengan setelan seragam olahraga aku berjalan menyusuri koridor. Aku baru saja menginjak ambang pintu ketika suara Naya kedengaran jengkel, datar, dan dingin di waktu yang bersamaan. "Lo bisa gak sih kerja itu fokus? Nurut sama gue kali ini aja? Gue kemaren bilang kalo gue lagi ada urusan penting, lo denger gak?"

"Ya urusan penting lo apa? Jagain Naka di rumahnya? Lo apain aja tuh bocah sampe lo bolos rapat, hah?" Lawan bicaranya alias Yara, bicara dengan lantang. "Lo apain aja tuh mulut sampe lo nggak berani gantiin gue mimpin rapat, hah?" Naya kedengaran membalikkan kalimat Yara.

Yara speechless. Aku yang melihat debat dua pasangan OSIS yang sama-sama duduk di atas meja itu langsung mundur beberapa langkah, aku tidak tahu mereka membicarakan apa, tapi setelah Yara membawa-bawa namaku ke dalam persoalan itu, aku sedikit ketar-ketir.

"Lo kalo mau ngomong, liat dulu yang di ajak ngomongnya. Jangan sok di depan gue, gue tahu lo banyak kurangnya, lo cuma sempurna karena muka lo yang ada dua. Lo haus pujian tapi lo cuma bisa jadi benalu di hidup gue, lo harusnya sadar diri, Ayarana Anggita Wijaya." Celetuk Naya.

Aku cukup terkejut ketika Naya bicara demikian langsung di depan wajah Yara yang kelihatan ketakutan. Kalian tahu Naya, kan? Cewek cantik yang friendly, aku yang sudah tetanggaan dengannya dua tahun saja baru mendengar dia berkata kasar dan serius pada temannya, apalagi kalian, kan?

"Sopan lo ngomong kayak gitu sama cewek, hah? Biar apa gue tanya? Biar—"

"Biar lo nyadar diri." Naya buru-buru memotong ucapan Yara, cewek itu jelas kaget, dia langsung turun dari meja, menatap wajah Naya datar. "Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu, hah? Sakit hati gue ngomong ke lo kayak gitu? Baru tahu gue bisa kasar juga sama cewek?" Suara Naya naik satu oktaf.

Kedua mata Yara kelihatan memerah. "Gue nggak butuh-butuh lo banget disini, gue nggak butuh benalu macem lo di hidup gue. Lo terlalu banyak gimmick, gue nggak suka ngeliat lo deket sama gue."

Selesai Naya bicara seperti itu, air mata Yara menetes beberapa butir. Wajah Naya keliatan kesal, aku bahkan baru sadar kalau tangannya terkepal. "Nangis lo? Gue pikir cewek caper gak gampang nangis." Naya bangkit dari meja, keluar kelas begitu saja.

Aku melihat Naya keluar lewat pintu pertama, aku melihatnya melangkah menjauh dari pintu belakang. Aku tidak menyangka kalau Nayaka akan langsung meninggalkan Yara tanpa minta maaf dulu, tanpa menenangkan dia dulu, dan tanpa sepatah kata apapun lagi.

Aku tidak tahu Naya marah sekali atau marahnya masih di tingkatan rendah, aku langsung membanting tas ke meja paling ujung, persetan kalau pensil-pensilku patah dan persetan itu meja siapa. Aku keluar kelas untuk mengejar Naya, tapi ketika keluar kelas saja aku sudah tidak melihat keberadaan Nayaka disana.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, intinya aku harus mencari gadis itu dan menenangkannya agar emosinya tidak semakin meluap-luap. Aku terengah, aku celingukan kesana-kemari mencari cowok bernama Nayaka Garistha Anantaraya.

"Dia kemana, ya?"

"..Siapa?"

Aku terkesiap, aku langsung berbalik ke belakang. Aku bernapas lega ketika melihat Naya ada di hadapanku dengan wajahnya yang begitu tenang. "Akhirnya ketemu, lo kemana aja sih!?" Aku menatap wajahnya dengan tatapan sinis.

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang