17. Jalani saja Dulu

5 1 0
                                    

***

Tanda-tandanya sudah seperti orang hamil, tapi Naka sama sekali tidak sedang mengandung.

"Anj—"

"Mbak, bahasanya!"

"Apaan? Gue belum ngomong apa-apa anjir barusan!" Imbuh Arumi, ia mendelik melihat Naka yang tengah memakan es batu seraya memainkan ponsel. "Lo kalo dilihat-lihat lagi nih ya, kek orang ngidam anjir, tahu? Jangan-jangan hamil beneran lo, ya?" Celetuk Arumi.

Naka melotot tak terima, ia melemparkan es batu kecil ke arah Arumi yang kini sedang tertawa. "Amit-amit, njing!" Umpat Naka, Arumi membelalakkan mata, pura-pura terkejut selepas mendengar Nakala mengumpat.

"Mbah, Naka ngomong kasar, Mbah!"

"Diem, anjir!" Naka semakin gencar melempari Arumi dengan es batu. Arumi terbahak seraya menghindar beberapa kali. "Udah ah, kayak bocah aja!" Ucapnya, kemudian ia kembali duduk di meja makan, berhadapan dengan sepupunya itu.

"Ngomong-ngomong, pacar lo gimana?"

Naka melirik Arumi sekilas, kemudian kembali menatap layar ponselnya. "Pacar gue siapa emang?" Tanya Naka, Arumi mengernyitkan kening. Perempuan itu baru saja akan menyebut nama Nayaka, namun ia baru ingat kalau Naka belum punya hubungan apapun dengan gadis berdarah Sunda itu.

"Nay—eh iya, kalian kan cuma hts-an."

"Ngejek banget, anjir." Naka berdecih saat Arumi kembali tertawa. "Gue nanya serius, lo sama dia gimana? Nggak mau nyoba buat pacaran dulu? Jalanin dulu gitulah, minimal?" Tanya Arumi, tangannya sibuk merangkai lego berbentuk bunga di atas meja.

Naka geming, ia kemudian menghela napas berat. "Lo berharap apa sih sama hubungan orang yang beda agama?" Tanyanya. Arumi mengedikkan bahu, "Ya sebenernya terserah sih lo berdua mau pacaran apa kagak, gue cuma ngasih rekomendasi doang," Ucapnya.

"Lagian nih ya, masa muda itu dipakai untuk sesuatu yang menantang." Naka kini menyimpan ponselnya diatas meja, ia menatap lurus pada Arumi yang tengah sibuk dengan bongkahan kecil yang nampak tak berguna di matanya.

"Menurut lo, pacaran beda agama itu sesuatu yang menantang?"

"Menantang kayaknya."

"Nggak sih menurut gue." Bantah Naka, ia mengambil sebatang rokok dari saku celana, kemudian berdiri mendekati kompor. "Itu menantang anjir, entar kalo lo lagi pacaran sama dia terus lo tiba-tiba mati, gimana? Kan urusannya jadi sama Tuhan, goblok."

Naka terkikik, ia mematikan kompor usai menyulut rokoknya menggunakan api. "Itu kurang menantang, Mbak." Ucapnya, ia kembali ke hadapan Arumi. Perempuan yang masih duduk itu menghela napas, "Kalo lo mau yang lebih menantang, buntingin anak orang aja gih, udah menantang banget tuh."

Keduanya terbahak di tengah-tengah keheningan malam. "Dapet enaknya iya, dapet bogem dari Ayah juga iya." Arumi tergelak mendengar ucapan Naka. "Udah deh, mending ajak pacaran aja si Naya. Daripada lo uring-uringan kayak kemaren cuma gara-gara tuh cewek, kan?" Usul Arumi.

Naka mendengus, kemudian menggeleng. "Ah, nggak deh, takut bapaknya ngamuk." Tolak Naka, ia menghisap rokoknya. "Bapaknya segalak apa sih? Kepo deh gue." Arumi melirik Naka sekilas, sebelum akhirnya kembali merangkai bunganya yang setengah jadi.

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang