16. Istimewanya Yogya

12 1 0
                                    

***

Entah ia yang hanya merasa atau memang begitu adanya, bahwa kedatangannya di Kota Yogyakarta ini begitu di perhatikan oleh ratusan pasang mata.

Dari awal keberangkatannya naik bus antarkota, ia di perhatikan oleh supir dan kernet yang memandanginya dengan tatapan yang sulit di artikan. Nakala sempat gentar, pikirannya merayap kemana-mana, ia pernah berpikir tentang sesuatu yang buruk, bagaimana kalau dua orang itu menurunkannya di tengah jalan dan memutilasinya? Memasukkan potongan-potongan tubuhnya ke dalam koper, lalu dibuang ke sungai?

Lantas, ketika ia turun dari bus bersama orang-orang yang tak ia kenal, ia masih terus di perhatikan seolah-olah dirinya adalah selebriti yang tengah naik daun. Namun mungkin Naka berpikir jika tatapan itu adalah tatapan yang mematikan, degup jantungnya naik berkali-kali lipat kala netranya tak sengaja bertemu pandang dengan bapak-bapak yang menatapnya aneh.

Naka ingin sekali tidak memperdulikan tatapan orang-orang terhadap dirinya, lengannya sempat tremor ketika ia meraih koper dari bagasi, takut kalau ia kenapa-napa ketika bahunya bertabrakan dengan bahu lain.

Ia sudah muak berada di kota yang tak ia kenal seluk-beluknya, ia sudah muak berada di sekitaran orang yang curi-curi pandang pada dirinya. Ia buru-buru merogoh saku celana, mengambil ponsel guna menelepon sang Nenek yang katanya hendak menjemput.

"Badhe tindak pundhi, le?"

Naka menoleh secepat kilat dengan wajah terkejut, ia menggeram pelan ketika seorang bapak-bapak setengah baya menepuk pundaknya, kalau seumuran mungkin ia akan mengumpat, namun kali ini bukan waktu yang tepat. Naka hendak membalas, namun ia lupa dengan pertanyaan dari si bapak, ia juga tidak pandai-pandai sekali dalam berbahasa Jawa.

Jadilah, senyuman hangat yang dibuat-buat terbit dari bibirnya. "Koyone sampeyan anyar ing kene?" Si bapak kembali bertanya dengan tangan bertaut di belakang punggung. Naka kali ini tersenyum paksa, ia berulang-kali merutuk dalam hatinya, mampus gue mampus!

"..A-ah, saya mau ke rumah Simbah disini, sebentar lagi mungkin saya di jemput."

Naka menjawab sebisanya, walau mungkin pertanyaan dari si bapak dan jawaban darinya sedikit tidak nyambung. Pria berkaus partai itu mengangguk-anggukkan kepala, tersenyum ke arahnya. Kini, Naka kembali di ambang ketakutan, pikirannya terlalu buruk ketika di hadapkan dengan orang-orang baru.

Pemuda dengan oblong hitam dan jeans hitam bolong-bolong itu berdiri canggung di hadapan si bapak, ia meremat ujung kemeja flanel kotak-kotak miliknya dengan kuat. Di saat-saat seperti ini, ia berharap lebih kepada asisten sang Nenek, ia berdoa agar si asisten segera datang kemari dan menjemputnya.

"Kamu orang luar?"

Naka menoleh, ia tersenyum paksa. "S-saya dari Bandung.." Ia menjawab dengan suara pelan, entah di dengar entah tak terdengar oleh si Bapak, namun pria itu diam saja ketika Naka menjawab. Di detik berikutnya, pria itu menoleh pada Naka yang sibuk menatap jalanan kota yang ramai.

"Den!"

Detik itu, Naka menoleh cepat kepada seorang laki-laki bertubuh jangkung berpakaian serba hitam. Naka tersenyum lega, ia buru-buru meraih kopernya, menggenggamnya kuat. "Maaf lama jemputnya, tadi nganterin Non Rumi ke butik dulu."

"Iya gapapa, makasih udah jemput." Naka masih tersenyum lebar, ia semakin lega. "Pak, saya pamit pulang, makasih udah nemenin saya disini." Naka membungkukkan badan di hadapan si bapak, pria itu tersenyum dengan hangat. "Sama-sama, hati-hati ya."

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang