03. Malam Sabtu

14 6 0
                                    

***

Seharusnya, aku tidak pernah datang kesini, tidak pernah menemui laki-laki itu.

Harusnya aku tahu dari awal, harusnya aku mengerti bagaimana kondisiku sejak pertama kali bertemu. Harusnya aku tidak langsung menaruh rasa, harusnya aku memendam untuk beberapa saat meskipun aku mati rasa.

Bertemu hanya berakhir bertamu, bukan sungguh untuk selalu. Aku terdampar disini, di halte jalan Garuda dengan perasaan mati rasa dan sebaris kalimat yang masih berdenging di kepalaku.

Duduk termenung sendirian pukul sepuluh malam, aku seolah menyerahkan diri pada berandal tengik yang bisa muncul kapan saja. Dadaku sesak, kini benakku di penuhi rasa sesal. Mengapa aku harus terjerumus senyum manisnya dan berakhir menangis karena kalimat bodohnya?

I think we're perfect couple, but actually..

Entah sejak kapan aku membencinya, entah bagaimana perasaanku ketika aku berhubungan lalu berakhir dengan rasa sakit yang kentara. Entah, aku tidak mengingatnya. Aku benci laki-laki itu, laki-laki bernama Nazel Wijaya yang membuatku hancur berkeping-keping.

Aku terlalu bodoh sampai aku lelah sendiri dengan kebodohanku. Harusnya sekarang aku bahagia, harusnya sekarang aku ada di kamarku, harusnya sekarang aku berbincang dengan Nakala.

Ah, ya, Nakala.

Aku mengusap wajahku, mengusap kedua mataku yang digenangi air mata. Aku merogoh celanaku, mengambil ponsel untuk menelepon Naka, semoga saja dia belum tidur sekarang, semoga.

"Ya Tuhan, gue pikir preman lo nongkrong disini." Aku menoleh ke samping, menemukan pemuda dengan hoodie berwarna abu-abu dan jeans hitam bolong-bolong. Aku menyipitkan mata, pandanganku sedikit mengabur seusai menangis barusan. "Eh? Renja?"

Renja duduk di sebelahku, aku mengurungkan niatku untuk menelepon Naka, biarlah nanti saja. "Lo kok disini? Ini udah jam sepuluh, loh." Aku menatap Renja, tapi ternyata pemuda itu juga tengah menatapku dengan tatapan jenaka.

"Aturan harusnya gue yang nanya gitu sama lo, rumah gue mah emang disini, di belakang noh." Dia menunjuk ke belakang, seolah menunjukkan rumahnya. Aku tersenyum kikuk, "Lo kenapa disini, gue tanya?" Dia duduk menghadapku.

"Gue abis ketemu sama.. ah, intinya sama temen gue deh." Balasku, ku lihat dia mengernyitkan dahi. "Temen lo siapa? Di kelas kan cuma ada Rachel, Yara sama Alena." Kata Renja, aku berdecak. "Y-ya ada deh, intinya temen gue!"

"Ya siapa namanya?"

"Ah, kepo!"

"Bukan masalah kepo atau enggaknya, ini buat memastikan gendernya apa." Timpal Renja. "Cowok, kenapa?" Tanyaku, Renja cengo. "Eh, anjing, lu dari rumah jauh-jauh kesini di bawa cowok?! Gila lu, ya!? Gua masih punya nomer emak lu bekas nanyain kabar lu pas tifus, gua aduin emak lu tahu rasa lu!" Renja sudah ancang-ancang mengambil ponselnya dari saku hoodie.

Aku panik, aku langsung menahan pergerakan tangannya. "I-iya, sorry, jangan di aduin Mama, atuh!" Pintaku, Renja menghela napas berat. "Gila banget otak lo, kalo gue tega, lo tuh udah gue jorokin ke gorong-gorong noh!" Dia menunjuk selokan dengan arus yang deras.

Aku berdecak kesal. "Ck, ya maaf!"

"Siapa tuh cowok? Orang sini?" Tanyanya, aku mengangguk kaku. "Dari RT 01 sampe RW 04 gue tahu orang-orangnya, yang mana satu?" Tanyanya lagi. "E-eum.. dia Nazel, Nazel Wijaya." Balasku, aku sedikit menundukkan kepala.

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang