Aku bangun di pagi hari dengan sangat tidak bersemangat. Aku masih shock dengan kejadian semalam. Aku berjalan melalui koridor sekolah sambil melamun. Air mataku jatuh tak kuat menahan tangis.
Bruk!
Aku menabrak seseorang.
"Eh, Samuel maaf. Gue nggak sengaja.""Iya, nggak apa-apa. Lo kok matanya sembab gitu? Lo semalem nangis? Kalo lo ada masalah, cerita aja ke gue. Gue bisa jadi pendengar yang baik."
Tanpa basa-basi aku langsung memeluk Samuel dan menangis di pelukannya. Samuel tak mengelak dan membalas pelukanku sambil membelai rambutku. Aku meluapkan emosi dan tangisku. Setelah merasa lebih tenang, aku bercerita kepada Samuel.
"Gini, Sam. Gue shock banget. Orang tua gue mau cerai. Gue nggak kuat menghadapi itu semua dan gue bener-bener kehilangan semangat hidup."
"Sini, duduk sebelah gue. Seberat apapun masalah lo. Lo pasti kuat, Shei. Hadapi itu semua dengan senyuman. Tuhan nggak akan ngasih cobaan diluar kemampuan hambanya."
"Lo pernah ngerasa bener-bener rapuh nggak sih? Dimana lo ngerasa nggak punya siapa-siapa. Lo ngerasa sendirian. Pernah?"
"Pernah. Saat itu orang tua gue kerja terus. Hampir seminggu 3 kali mereka keluar kota untuk urusan bisnis. Gue ngerasa nggak punya orang tua, nggak punya siapa-siapa. Fikiran mereka cuma kerja, proyek, dan klien. Mereka nggak mikirin keadaan gue."
"Terus, gimana caranya lo bisa bangkit dari keterpurukan itu?
"Gue bangkit. Dan mulai terbiasa dengan kehidupan gue. Gue melukis seseorang yang bikin gue nyaman kalo di deket dia. Lo yang kuat ya, Shei. Berdoa semoga orang tua lo cepet baikan."
"Makasih banyak, Sam. Lo selalu bikin gue senyum."
"Apapun buat lo. It's ok."
Bel berbunyi menandakan kami harus masuk ke kelas dan memulai pelajaran. Jessie terlambat karena macet di jalan. Jessie tidak tahu dengan masalahku di rumah. Aku mencoba mengikuti nasihat Sam. Mencoba tersenyum seakan tidak ada masalah. Maaf Jessie, aku akan bercerita disaat waktu yang tepat. Kalian tahu? Aku sedang sangat rapuh.