04 • Ingin Menjadi Model

66.4K 3.8K 61
                                    

┌───── •✧✧• ─────┐
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
└───── •✧✧• ─────┘

Mata yang terpejam dengan rahang yang mengeras. Mati-matian Dina menahan emosi ketika melihat Johan dengan konyolnya meninggalkan mobilnya di sekolah dan malah mengikuti dirinya untuk naik taksi yang tadi di pesan oleh Dina untuk ke suatu tempat.

"Mau ke mana?"

Pertanyaan itu keluar dari suara berat yang seharusnya menghipnotis para wanita dengan penuh puja, sayangnya hal tersebut tidak berlaku pada Dina yang kini membuka mata dan menatap Johan dengan tatapan tidak suka.

"Ngapain sih? Ikut masuk segala."

"Aku tanya Dina," ucap Johan penuh penekanan.

Ingin sekali rasanya Dina berteriak tepat di depan wajah pria itu.

Cakep lo begitu? Sialnya memang pria itu tampan bukan main.

Dina benar-benar kesal dan ingin menerkam hidup-hidup seorang Johan.

"Sudah aku bilang, bukan urusan kamu," kata Dina.

"Dan aku pun sudah mengatakan, kita suami istri. Aku berhak."

"Berhak apa? Dengar Johan, ini bukan kamu banget. Sejak kapan kamu mau ikut campur urusan aku?"

Johan menatap sang istri terdiam. Dia pun heran karena hal tersebut. Untuk apa dia ikut campur soal Dina? Yang ia rasakan tadi hanya ingin ikut dan langkahnya tanpa sadar masuk ke dalam mobil yang sama dengan Dina.

"Pak, minggir," perintah Dina. Dengan patuh sang sopir menepikan kendaraan roda empatnya.

"Turun." Dina kini memerintah sang suami.

Johan yang ingin membuka mulutnya tidak. "Turun," perintah Dina ulang.

"Aku nggak ada mobil Dina," ucap Johan asal. Hal yang benar-benar membuat kekesalan Dina mencapai puncak.

Siapa suruh lo tinggal! Dina yang tidak ingin merusak harinya dengan marah-marah akhirnya pasrah dan hanya diam menatap lurus ke depan. Wanita itu kembali menyuruh sang supir untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat yang ia inginkan.

Tidak ada pembicaraan dan begitu hening. Namun, dering ponsel milik Johan membuat Dina melirik dari sudut  matanya.

"Kapan ke sini?!"

"Ada urusan."

Singkat, padat, dan menjengkelkan untuk di dengar dari seberang telepon sana.

"Lo tau kalo sekarang gue nahan emosi, kan?"

Tidak peduli apakah yang sedang berbicara dengannya melalui telepon ini melihat atau tidak. Johan mengangguk pelan.

"Makanya ke sini!"

Johan menjauhkan ponsel tersebut. Meski sekretarisnya ini kurang ajar, akan Johan maafkan karena rasa pertemanan mereka yang begitu lama.

Tidak ada pamit dan tidak ada ucapan apapun lagi. Johan menutup telepon itu dan membuat amarah seorang Owen yang berada di dalam ruangannya, berteriak tanpa suara. Kalau bukan karena Johan adalah bosnya, bisa saja wajah pria itu dipenuhi oleh luka lebam dan kesakitan yang luar biasa. Owen ingin sekali menghajar bos sekaligus sahabatnya itu, supaya Johan tidak lagi bertindak sesuka hati.

Sekarang mobil yang kini mengantar Dina dan Johan telah sampai pada tujuan.

Dina keluar diikuti oleh sang suami. Johan meneliti tempat yang istrinya datangi. Sebuah butik yang jelas Johan tahu siapa pemilik butik tersebut. Tidak ada angin ataupun hujan, Johan menghela napas lega. Dirinya sendiri tahu, dia ini sebenarnya kenapa.

IBU ANTAGONIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang