34 • Kenangan Pahit

22.1K 1.8K 101
                                    

┌───── •✧✧• ─────┐
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
└───── •✧✧• ─────┘

Harap bijak dalam membaca bab ini, ya. Selamat beraktivitas semua. 👋
.
.
.

Waktu tidak terasa telah berlalu beberapa hari setelah pembahasan untuk berlibur. Dina pun sudah menyelesaikan pekerjaannya dan mengatakan untuk berlibur supaya tidak ada yang berani mengganggunya.

"Seneng banget keknya hati lo," sindir Namira yang menyeruput kopinya dengan nikmat.

"Gue mau liburan, jelas harus seneng," jawab Dina dengan nada yang terdengar sombong. "Anyway... Owen katanya mau ikut kalo lo juga ikut," sambung Dina kemudian.

Namira menghela napas mendengar nama sang mantan. "Ngapain? Gue nggak mau kayak orang bego diantara lo bedua."

"Makanya ada Owen biar lo nggak jadi bego," balas Dina cepat.

Sebagai jawaban, Namira hanya menggeleng pelan. "Nggak dulu, gue mau nenangin diri dari malam itu," ujarnya yang kembali mengingat mimpi buruk yang membuatnya tidak bisa tidur.

"Nam..." Dina menatap sang sahabat, ia menelan air liurnya sejenak. Ia seakan ragu untuk mengatakannya, tapi ia harus melakukannya. "Lo nggak mau jelasin yang sebenarnya? Owen perlu tau."

"Trus? Buat dia merasa bersalah karena nggak tau sama anaknya sendiri?" Namira meletakkan gelas kopinya. Ia menatap intens ke arah Dina. "Gue sebenarnya sayang sama dia Din, tapi perlakuan itu masih belum bisa gue terima. Gue pikir dia belum pantas untuk tau yang sebenarnya."

"Tapi dia perlu tau kalo lo pernah mengandung."

"Gue nggak mau." Namira mengatakannya penuh ketegasan. "Gue masih ingat banget di saat gue mau ngasih tau dia, dia malah milih nemenin sepupunya."

Detak jantung Namira menjadi berdetak lebih cepat karena emosi yang ingin menyeruak. "Dan lo paling tau gimana nggak enaknya kita diabaikan pas lagi masa kehamilan." Namira menyeka air matanya yang perlahan lolos tanpa permisi.

"Di saat gue debat masalah dia yang itu pun, Owen masih bela sepupunya! Dia nggak tau karena itu mental gue yang mudah rapuh itu hancur..." kata Namira dengan bibir yang bergetar. "Gue malam itu keguguran Din... dia bahkan nggak tau kalo lo ngantar gue ke rumah sakit."

Namira menarik napas yang begitu panjang, dia sangat tidak ingin terbawa perasaan. Tapi, itulah yang ia rasakan ketika mengingat hal yang menyakitkan.

"Seminggu Din... gue nunggu dia seminggu. Tapi dengan egonya dia, dia bahkan nggak ngubungin gue." Namira mengigit pelan bibirnya. "Setelah gue minta putus dia malah tanya kenapa?"

Kekehan yang terdengar miris itu bisa Dina rasakan. Ia tidak tega melihat luka yang sahabatnya itu rasakan.

"Gue akui, gue memang salah karena kabur gitu aja ke China selama berbulan-bulan. Tapi dia nggak ada kata maaf karena ngilang seminggu sebelum gue pergi, Dina. Gue yang sangat perlu dia saat itu!"

Pecah sudah, isakan tangis dari Namira terdengar begitu memilukan. Dina mendekat ke arah sahabatnya itu sembari memberikan pelukan untuk menenangkan.

Prang!

Suara pecahan yang begitu nyaring membuat perhatian Dina dan Namira menuju ke arah yang sama. Mata Dina dan Namira seketika membulat sempurna ketika tahu siapa yang telah memecahkan gelas yang tadi masih setia dipegang.

Kaki yang melangkah dengan cepat itu secara tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapan Dina dan Namira.

Namira yang berusaha menghapus air matanya dan melepas pelukan dari Dina itu langsung ditarik dengan kedua bahunya yang dicengkram.

IBU ANTAGONIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang