"Orang-orang akan selalu melihat bagian bahagia kita saja dan menilai kita tidak bersyukur."
-Anindya Nasywa Ayudhisha-
🌺
"Mie ayam empat sama bakso satu, terus minumnya es jeruk lima, lima puluh delapan ribu."
Nindya kemudian menerima uang dari seorang laki-laki yang datang bersama rombongannya. Begitu menyerahkan uang kembalian, Nindya lantas menanti laki-laki dihadapannya ini untuk beralih karena ada pelanggan baru yang datang.
"Mau pesan lagi, Mas?" Nindya berusaha tersenyum kala ia merasa risih dengan senyuman pemuda yang ia tebak masih ada di awal umur dua puluhan.
Laki-laki berkaus hitam bertubuh kurus itu menggeleng sambil tersenyum. Kedua tangannya lantas melepas sepuntung rokok yang terapit di bibir. "Karyawan baru ya?" tanyanya.
Nindya terdiam untuk sesaat. Matanya memindai penampilan laki-laki itu. Lehernya terdapat kalung emas yang tentunya sangat tidak biasa bagi warga yang tinggal di desa seperti mereka.
Untungnya sebelum Nindya membuka suara, Farhan yang baru saja selesai menghidangkan pesanan ke pelanggan lain itu lantas menumpukan tangan kirinya di bahu kanan Nindya.
"Gek muliho, mburimu ki antri akeh!" [Buruan pulang, belakangmu itu antri banyak,] Sarkasnya.
"Ming arep takon sithik kok pelit," [Cuma mau tanya dikit kok pelit,] komen laki-laki itu. Tapi, laki-laki itu pun lantas beranjak pergi dan Nindya langsung menanyai pesanan pembeli selanjutnya.
Farhan gemas rasanya dengan sepupunya itu. Antara rela dan tidak rela sebenarnya. Nindya itu bagai pelaris di warung mie ayamnya tapi disisi lain Farhan khawatir jika Nindya diajak berkenalan dengan laki-laki seperti tadi. Bisa gawat kalau anak Pak Bambang ini terjerat pergaulan yang tidak baik melalui perantara semangkuk mie ayam dari warungnya.
"Mulakno rupa ki aja ayu ayu," [Makanya rupa tu jangan cantik-cantik,] dumal Farhan.
"Ya udu salahku ta, nek aku terlalu ayu!" timpal Nindya yang langsung mendapat seruan heboh dari para pembeli terutama para kaum adam.
"Terima kasih, terima kasih." Layaknya mendapat penghargaan, Nindya menyabut sorakan itu dengan membungkukkan badan.
Kehadiran Nindya di warung itu menambah minat para pembeli untuk makan di tempat. Jika sudah begitu, tentu Farhan segera menyuruh Nindya masuk ke dalam untuk berganti tugas dengan Farah, adik Farhan yang biasa mencuci mangkok dan gelas.
"Nih, buat beli skincare." Ketika Nindya meminta izin untuk pulang, Farhan tiba-tiba mengambilkan sejumlah uang untuk Nindya.
"Nggak mau," tolak Nindya.
"Ambil aja sih!" Paksa Farhan. "Nek nggak mau nerima, besok nggak boleh bantu lagi ya!"
"Ih, bisanya ngancem," gerutu Nindya yang kemudian menerima uang itu.
"Makanya main sana sama temenmu." Farhan tau Nindya membantunya karena bosan di rumah.
"Nggak punya temen, Mas. Udah pada nikah." Benar saja, rata-rata teman dekatnya sudah menikah bahkan memiliki anak.
"Saake," [Kasian,] ejek Farhan. "Makanya nikah."
Nindya yang sudah bersiap mengegas motor matic miliknya itu lantas mendelik. "Eh, Anda lupa diri ya!"
Farhan tertawa, keduanya menertawakan diri mereka yang masih belum mengarungi bahtera rumah tangga di tengah para tetangga dan teman seumuran mereka yang bahkan sudah memiliki dua anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumilir
Romance[Cerita ini minim konflik dan aku tujukan agar kalian terhibur dengan romansa desa yang sederhana] Areksa Mahendra, Mas-Mas Jawa yang berprofesi sebagai petani di desa itu harus mengalami kejadian naas di umurnya yang sedang semangat dalam menggarap...