"Lupa rasanya nepuk pantat kambing."
-Areksa Mahendra-
🌾
Segampang kuwi caramu
Ngapusi roso atimu
Saiki aku dewe neng kene
Ming sepi tanpo tresnamuOpo kudu pasrah kahanane
Kudu nerimo karo put--"Dek, menengo sikik!" [Dik, diamlah dulu!]
Areksa menatap adiknya yang sedang konser tunggal di halaman rumah sembari menjemur pakaian. Suara Aneska sebenarnya tergolong sopan di telinga, tapi masalahnya Areksa sedang mendapat telepon dari Pak Prayoga, salah satu penjual kambing yang kemarin ia mintai tolong untuk mengambil kambingnya untuk dijual di pasar hewan.
"Weh, maaf, Mas." Aneska nyengir dan menutup mukanya dengan baju yang ada di genggamannya.
Areksa lalu menempelkan ponselnya kembali ke telinga dan lanjut berdiskusi dengan Pak Prayoga.
"Sanes, Pak. Mangke kalih Lik Aris sing ten kandang. Kang Sabar badhe ten sawah caose wingi." [Bukan, Pak. Nanti sama Om Aris yang di kandang. Kang Sabar mau ke sawah katanya kemarin."
Areksa senantiasa tersenyum di sepanjang teleponnya. Sesekali ia memutar roda kursinya atau mengelus kucing kuning yang tertidur lelap di meja bundar yang ada di teras rumahnya itu.
"Enggih, Pak. Mangke nek kula saged mriku nggeh kula nyusul. Ning nek mboten nggeh kula nyuwun ngapunten. Karang lagi kahanan je, Pak." [Iya, Pak. Nanti kalau saya bisa kesitu ya saya menyusul. Tapi, kalo nggak bisa ya saya minta maaf. Karena keadaannya (lagi begini), Pak.]
Areksa sedikit melunturkan senyumnya. Aneska yang mendengar hal itu lantas mencuri pandang ke arah kakaknya yang ternyata tangan kiri kini terkepal di atas lutut. Aneska tahu perasaan Areksa yang sebenarnya. Di balik sikap Areksa yang tenang, terdapat rasa sedih akan kondisi kakinya.
Sebelum kecelakaan terjadi, pagi-pagi Areksa pasti akan selalu mengeluarkan motor paling awal. Berkendara santai berkeliling sawah, lalu lanjut ke kandang mengecek hewan-hewannya yang ada di sana lalu beralih ke lumbung untuk memastikan aset berharganya alias mesin-mesin penggiling padi juga traktor sawah akan bekerja dengan baik hari ini. Lalu ketika hari beranjak siang, Areksa akan menyusul Aneska ke toko. Iam membantu adiknya juga karyawan lain membuka toko. Setelah ia akan membantu Kang Sabar atau orang-orang lain yang memang bekerja padanya. Menjual hewan atau mengangkut hasil panel pun dahulu ia lakukan sendiri menggunakan mobil bak terbuka andalannya. Sayangnya, mobil itu kini hanya sesekali digunakan Kang Sabar untuk keperluan mengangkut barang dan selebihnya hanya mengisi ruang parkir di samping mobil Bapak.
Meski Areksa bisa saja duduk di rumah atau pergi main, Areksa tetap tidak akan membiarkan orang-orangnya bekerja tanpa semangat juga arahannya. Sampai kekuatan kaki kirinya untuk menopang tubuh hilang, rasanya Aneska ikut kehilangan jiwa kakaknya.
Aneska menggeser tubuhnya agar ia terhalang oleh pakaian-pakaian yang ia jemur. Sementara itu tangannya berusaha mengipasi kedua matanya yang mulai memanas. Kakaknya pasti tidak suka jika ia menangisi keadaannya.
"Nes, itu sepedanya siapa?"
Suara itu lantas membuat Aneska menyembulkan kepalanya dari sela-sela pakaian yang ia jemur. Rupanya Areksa sudah selesai berbicara dengan Pak Prayoga. Namun, sepanjang pembicaraannya tadi, matanya tak bisa beralih dari sepeda gunung yang diselipkan di samping mobil Bapak yang terparkir rapi di garasi. Memang dari teras, Areksa bisa melihat ke arah dalam garasi jika pintu sliding garasi telah terbuka lebar karena rumah orang tuanya itu berleter L

KAMU SEDANG MEMBACA
Sumilir
Romance[Cerita ini minim konflik dan aku tujukan agar kalian terhibur dengan romansa desa yang sederhana] Areksa Mahendra, Mas-Mas Jawa yang berprofesi sebagai petani di desa itu harus mengalami kejadian naas di umurnya yang sedang semangat dalam menggarap...