"Aku lupa, desa itu indah pas seminggu, dua minggu. Selebihnya full rasan-rasan tetangga :)"
-Anindya Nasywa Ayudisha-
🌺
jangan lupa komen ya, seru baca-baca komen kalian💚
🌺
Hamparan sawah di sisi selatan jalan yang ditumbuhi padi sudah mulai menunjukkan hasilnya. Sebagian sudah ada yang mulai merunduk dan sebagian lagi masih ada yang tegak.
"Kodok, Nin!" Pak Bambang memberi tahu anaknya yang berjalan di belakangnya.
"Ih..!" Nindya refleks melompat saat dirinya hampir menginjak katak yang sudah mati terlindas ban kendaraan yang lewat.
"Masih ngantuk kamu, Nin?" tanya ibunya.
Nindya mengangguk dan menguap sebagai jawabannya. Sebenarnya kembali tidur setelah subuh adalah hal yang menggiurkan, apalagi ketika udara masih sangat dingin seperti ini. Tapi, begitu mengetahui orang tuanya akan jalan-jalan keliling desa, ia lantas menyambar jaket dan mengikuti langkah kedua orang tuanya.
Setengah enam pagi tentu jalanan masih sangat sepi. Rata-rata orang-orang masih berada di dalam rumah. Apalagi hari ini Hari Sabtu. Anak sekolah libur dan orang tuanya pun tidak perlu menyiapkan sarapan dan bekal untuk mereka. Sehingga kini hanya satu dua tetangga yang sudah terlihat menyapu di halaman rumah mereka masing-masing.
"Jadi kayak danau," komentar Nindya saat melihat beberapa petak sawah di sisi timur sungai yang membentang di pinggiran Dusun Praja digenangi air yang lumayan tinggi.
"Kok sawah yang di situ nggak tinggi airnya, Yah?" tanyanya kemudian.
Ketiganya kini sedang berdiri di pinggir jalan dekat sungai. Pagi ini arus sungai itu lumayan deras dan keruh airnya. Gemericik air yang mengalir membawa suasana syahdu tersendiri. Sebab itulah keluarga kecil ini berhenti berjalan.
"Itu semua sawahnya Areksa. Mestinya udah di buat saluran buat buang air. Telaten dia anaknya," jawab ayahnya.
"Dua kotak itu?" Nindya menunjuk dua petak sawah yang paling dekat dengan sungai.
"Semua ini," koreksi ayahnya. Tangan Pak Bambang membuat gerakan yang menunjuk ke hamparan sawah yang ada di sisi barat sungai selatan jalan sampai dengan bertemu jalan aspal kembali di arah barat sana. Kurang lebih ada sekitar delapan petak sawah yang masing-masingnya sudah sangat luas.
"Ha?" Nindya melongo. "Ini semua?" tanyanya memastikan. "Dua ini aja udah luas banget lho?!"
"Lha iya. Kan Areksa nggak ngerjain sendiri. Orang-orang banyak yang kerja sama dia," timpal ibunya.
"Di depanmu ini aja belum semua, Nin. Di dusun sebelah juga banyak," imbuh ayahnya.
"Terus petani lain kebagian apa dong?"
"Ya, masih kebagian. Justru kalau orang sini mau punya sawah sendiri, belinya di Areksa. Biasanya dikasih harga rendah."
Nindya mengangguk paham. Matanya mulai memandang sekeliling lagi. Pemandangan di desa yang dulunya ia anggap biasa-biasa saja ini, nyatanya begitu ia rindukan ketika ia merantau ke kota. Pemandangan yang ia rindukan sebenar cukup sederhana, hamparan sawah yang hijau, sungai yang mengalir deras, pohon kelapa yang masih tergantung daun keringnya, rerumputan liar yang masih basah karena embuh, juga genangan air yang biasa ada di jalanan.
Bertahun-tahun ia hidup di kota--meski ketika libur panjang bisa pulang--tidak mampu menghadirkan rasa tenang di pagi hari. Dulu ia selalu meruntuki alarm yang membangunkannya karena berkat alarm itu, artinya ia perlu menerjang macetnya kota bertemu dengan orang banyak dan menjalani hari yang berat. Namun, kini ia dengan suka rela melawan rasa kantuknya demi mengikuti langkah kedua orang tuanya berkeliling desa, menyapa tetangga, dan menjawab pertanyaan basa-basi mereka. Alam pun memanjakannya, mengingatkan Nindya bahwa di setiap sudut desa kecil itu pernah ia tapaki dengan kaki mungilnya bersama rombongan temannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sumilir
Romance[Cerita ini minim konflik dan aku tujukan agar kalian terhibur dengan romansa desa yang sederhana] Areksa Mahendra, Mas-Mas Jawa yang berprofesi sebagai petani di desa itu harus mengalami kejadian naas di umurnya yang sedang semangat dalam menggarap...