Sumilir 4

595 60 5
                                    

"Work life balance? Ga bisa, Yura. Aku milih pulang."

-Anindya Nasywa Ayudhisha-

🌺

Nindya mendaratkan pantatnya di tepian sungai kecil yang sudah terbuat dari semen. Sungai itu bersisian dengan jalanan, memanjang dari utara hingga ke selatan  sebelum akhirnya bercabang ke dua arah lainnya. Kedua sudut bibir Nindya tertarik ke bawah saat tangan kirinya mengangkat sandal hitam miliknya yang putus talinya. Insiden itu berlangsung sangat cepat hingga Nindya sampai terduduk di pematang sawah ketika kaki kirinya terperosok ke sawah.

"Wis nganggo iki wae." [Udah pakai ini saja.] Kakek melepas sandal jepit miliknya yang sudah mulai menipis itu bahkan warna putih di bagian jari kaki dan tungkainya sudah mulai pudar dan berganti menjadi warna hijau seperti bawahnya.

Nindya menggeleng, menolak. Bukan karena kondisi sandal kakeknya, melainkan ia sebenarnya tidak masalah jika harus bertelanjang kaki. Toh, waktu kecil dulu ia suka susur sawah untuk mengikuti sekelompok teman laki-lakinya menerbangkan layangan.

"Nggak usah, Kek, aku nyeker aja."

"Ya wis, kowe lungguh kene wae. Kene kreseke." [Ya udah, kamu duduk sini aja, Sini kreseknya.] Kakek meminta kresek yang ada di saku celana cucunya.

"Aku ikut lah, Kek." Nindya meminta, tapi ia juga lekas mengeluarkan lipatan kresek bekas belanja di pasar yang ada di saku celananya.

"Wis. Tunggu wae. Itu motornya masih ada kuncinya." Kakek meraih kresek itu dan berjalan menjauh, melewati pematang sawah yang lebarnya tidak seberapa itu untuk mencapai sisi lain dari sawah miliknya yang ditumbuhi beberapa pohon cabai rawit.

Ini semua adalah ulah ibunya yang pagi-pagi kelupaan membeli cabai. Kemudian, bukannya menyuruh Nindya pergi ke pasar malah menyuruh pergi ke rumah kakeknya untuk meminta cabai yang beberapa waktu lalu telah ditawarkan. Sayangnya, cabai yang telah dipetik kakeknya kemarin sudah menjadi sambal yang terbagi dalam beberapa mangkok kecil di setiap meja warung mie ayam Budhenya. Nindya pun dengan semangat menyetujui ajakan kakeknya untuk pergi ke sawah guna memetik cabai.

Kiranya, pohon cabai itu ada di sekitaran sawah yang dekat dengan jalanan. Namun, ternyata pohon yang dimaksud kakeknya berada di ujung sana dan harus melewati dua petak sawah.

"SEMENE CUKUP DURUNG?" Teriakan kakeknya menyentak lamunan Nindya yang melamun sambil menikmati sinar matahari yang masih sehat.

Nindya terkejut kala kresek yang dipegang kakeknya telah terisi setengahnya.

"UDAH, KEK, ITU MALAH KEBANYAKAN!" Balasnya.

"KURANG BANYAK?" Tanya kakeknya.

"UDAH CUKUP! SETENGAH AJA ITU!" Balas Nindya lagi.

"SETENGAH LAGI?" Tanya kakeknya lagi.

"Waullahi," sebut Nindya.

Malas berteriak lagi, Nindya pun memilih untuk menyilangkan tangannya di depan dada kemudian memberi isyarat kepada kakeknya untuk kembali ke tempat Nindya dengan motornya.

"Piye?" tanya Kakek begitu mendekat.

"Udah, ayo pulang aja, Kek. Ibu pasti udah nungguin di depan cobek ini." Nindya bangkit berdiri, menepuk-nepuk pantatnya agar rumput dan tanah yang menempel berjatuhan.

Entahlah ibunya ingin mengolah apa. Tiba-tiba sekali ibu mengajaknya pergi ke pasar dan belanja banyak sayur dan langsung mengolahnya begitu sampai rumah.

Setelah mengantar kakeknya pulang, Nindya lantas mengendarai motornya untuk segera pergi ke rumah Pak Bambang untuk menyerahkan satu kresek cabai yang masih sangat segar itu.

SumilirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang