"Tahun baru? Berarti ganti kalender baru, kan? Biasanya dapet dari pabrik pupuk atau bibit jagung kok, nggak usah beli."
-Areksa Mahendra-
🌾
Halaman depan rumah Areksa yang biasanya hanya diterangi oleh dua lampu putih teras tengah dan di sudut luar rumah, kini menjadi lebih hidup dengan lampu hias berwarna kuning yang dipasang oleh Bapak dibantu oleh Aneska selepas magrib tadi. Dapur pun tampak gaduh dengan Ibu yang hilir mudik menyiapkan ayam, sosis, dan berbagai bahan tusukan lainnya yang sudah dibiarkan mencair sejak sore tadi. Hanya Areksa yang tenang mengupas sepuluh jagung untuk ditusuk menggunakan bambu yang telah diruncingkan.
Ketika waktu mulai mendekati pukul delapan malam orang-orang mulai berdatangan, dimulai dari Wisnu yang membawa istri dan anaknya yang sudah mulai terkantuk-kantuk namun langsung berbinar begitu melihat kelap-kelip lampu yang terpasang, juga Kang Sabar dan istrinya.
Tahun-tahun sebelumnya, masih ada empat kakek-kakek yang selalu datang disetiap tahun baru hanya saja, seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya kembali kepada Sang Pencipta dan tersisa satu kakek yang kemudian dibawa pergi ke kota untuk tinggal bersama anak-anaknya dan di rawat di sana. Tersisa Kang Sabar dan istrinya yang selalu menjadi anggota tetap acara tiap tahun ini. Kang Sabar hanya tinggal bersama istrinya saja tanpa keluarga karena kedua orang tuanya sudah meninggal sementara keluarga istrinya berada di luar pulau.
Rumah Areksa selalu menjadi tempat berkumpulnya di malam tahun baru seperti sekarang, khususunya para pekerja dan petani yang memang mengantungkan hidupnya dari perputaran modal yang dimiliki oleh Bapak dan Areksa. Memang pada dasarnya keluarga Areksa sangat murah hati dan selalu menyuguhkan makanan yang berlimpah tanpa meminta imbalan atau sekedar iuran bersama dan untungnya, orang yang datang semua tahu cara menghormati tuan rumah, mereka ikut bantu membersihkan teras di saat tahun telah berganti dan acara pun telah usai.
Ibu menyeduh teh panas di dispenser untuk melawan dinginnya angin yang berhembus dari sawah. Kang Sabar membantu Bapak mengeluarkan stok kayu bakar yang memang sudah siap sementara Wahyu dan Aneska menyusun batu bata untuk di jadikan tempat membakar nanti. Sementara itu, istri Kang Sabar yang bernama Asti dan istri Wahyu yang bernama Fatim sedang menggelar tikar. Gelak tawa datang dari anak Wahyu yang berusia empat tahun yang bermain-main bersama Areksa. Gadis bernama Nayla itu senang di pangku oleh Areksa dan semakin senang ketika kursi rodanya bergerak maju dan mundur. Di samping itu, suara jangkrik terdengar dari arah sawah, belum ada musik yang terputar karena memang masih belum terlalu ramai.
Sebuah motor yang berbelok memasuki halaman rumah membuat semua orang menengok selama beberapa saat. Beberapa di antaranya lantas melanjutkan pekerjaannya kembali, kecuali Ibu yang langsung semangat menghampiri sepasang suami istri yang baru datang.
Melihat buah tangan yang dibawa, Ibu lantas berujar, "kok bawa cangkingan ta, Bu? Kan udah saya bilang nggak usah."
Bu Dewi menggeleng. "Ini cuma kacang godhog, nggak beli. Kacangnya aja dari di kasih." Bu Dewi membuntuti Bu Ningrum ke teras. Sementara Pak Bambang membuntuti sambil membawa kacang rebus dan mentimun.
"Nindya dimana?" tanya Bu Ningrum.
"Tadi pergi duluan, katanya mau beli sesuatu."
Bertepatan dengan hal itu, orang yang dicari Bu Ningrum pun akhirnya datang. Nindya datang dengan mengenakan celana joger hitam dan jaket biru tua dengan dalaman kaos hitam lengan pendek.
"Beli apa kamu, Nduk?" tanya Bu Ningrum.
"Beli kembang api, Bu." Nindya mengeluarkan tiga bungkus kembang api yang dibelinya. Sontak hal itu lantas membuat ayahnya mengusap kepala Nindya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sumilir
Romance[Cerita ini minim konflik dan aku tujukan agar kalian terhibur dengan romansa desa yang sederhana] Areksa Mahendra, Mas-Mas Jawa yang berprofesi sebagai petani di desa itu harus mengalami kejadian naas di umurnya yang sedang semangat dalam menggarap...