Sumilir 3

287 31 4
                                    

"Belum sempat mikir rumah tangga, masih ambis sama kandang kambing."

-Areksa Mahendra-

🌾

Orang tua Nindya itu menikah karena mereka sudah kenal lama menjadi tetangga. Istilah jawanya itu ngepek tangga (memiliki tetangga). Witing tresna jalaran saka kulina adalah kalimat yang pas untuk kisah percintaan orang tua Nindya. Oleh karena itu, jangan heran mengapa di sana sini ada keluarga yang masih saudara dengan Nindya.

Di dusunnya ia memiliki keluarga dari ibunya yang tak lain dan tak bukan adalah keluarga Farhan. Ayah Farhan adalah anak pertama kemudian ibu Nindya menjadi anak kedua sekaligus si bungsu. Juga tidak lupa ada kakek yang masih sehat dan rajin ternak lele dan mengurus sepetak sawahnya di masa tua. Rumahnya pun hanya ada di belakang rumah Farhan.

Sementara di dusun lain, ada satu keluarga yang kepala keluarganya merupakan kakak dari Pak Bambang. Sayangnya, kakek nenek dari pihak ayah Nindya itu telah berpulang semua.

Memiliki saudara yang letak rumahnya dekat, tentu Nindya tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Belum juga ayahnya pulang dari masjid, Nindya sudah semangat membuka pintu kamarnya dan melangkah keluar dengan celana joger hitam kaos berlengan pendek warna hijau muda juga jaket putih.

"Mau ke mana?" Ibu bahkan sempat berkacak pinggang sebelum akhirnya menyodorkan tangannya yang kemudian Nindya tempelkan di keningnya.

"Aku main ke rumah Pakde Win ya, Bu. Mau jajan seblak sama Yura."

"Seblak terus ta, Nduk? Kaya lagi wingi lehmu jajan panganan kui." [Seblak terus, Nak? Kayak lagi kemari kamu beli makanan itu.]

"Udah seminggu ya, Bu. Nggak sering kok,"

"Healah." Ibu menggeleng, tapi kemudian memberi izin. "Ya wis, kana. Yura dijajake lho, Nin." [Ya udah, sana. Yuna dibelanjain lho, Nin.]

Ibu memberi pesan, mengingat kalau Yura, anak ke tiga dari kakak suaminya itu masih sekolah.

"Nggih, Bu."

"Jaketnya itu mbok ditutup!" Ibu melihat resleting jaket putih anaknya terbuka.

"Sumuk, Bu. Assalamualaikum!" [Gerah/panas, Bu.]

Ibu menjawab salam, meski selanjutnya wanita itu mengomel kecil. "Kalo Dimas ada, pasti ngikut juga itu anak." Ibu tiba-tiba teringat oleh anak bungsunya yang baru awal tahun kemarin merantau, pergi ke sebuah kota untuk bekerja setelah menamatkan kuliahnya.

Nindya mengendarai motornya langsung menuju tempat penjual seblak. Tidak jauh, hanya berjarak dua kilometer saja dari rumahnya. Ia langsung memesan dua porsi seblak sesuai seleranya dan sepupunya. Esok adalah hari libur nasional, sebuah surga bagi Yura yang masih sekolah dan mereka pun mengagendakan menonton film bersama di rumah Yura.

Setelah pesanannya jadi, Nindya tak lupa membeli minuman dingin juga camilan tambah sebelum akhirnya kembali ke wilayah kelurahannya dan menuju ke rumah pakdenya yang hanya berbeda dusun dengannya.

"Banyak banget, Mbak, jajannya."

Yuna menunggu di depan rumah. Di pangkuannya terdapat selimut tipis warna merah muda yang sengaja ia bawa untuk menutupi pahanya yang hanya mengenakan celana pendek.

"Ora ta." Nindya menyangkal.

Yura mengambil alih dua kresek dari tangan Nindya.

"Motornya dikuncilah, Mbak. Nanti pintune biar ditutup," ujar Yura.

SumilirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang