Donita menatap buket bunga dan cincin yang tersemat di jari manisnya. Pernikahannya begitu singkat.
Kemana keluarga Erlangga. Mereka bahkan menikah hanya sebatas agama kepercayaan tidak terdaftar resmi di hukum negara ini.
Erlangga mendekati wanita bergaun pengantin yang cantik itu.
"Kurang puas?" Erlangga menggendong Donita untuk meninggalkan tempat di mana mereka resmi menikah walau belum resmi secara hukum negara.
"Gue punya kaki, turunin." Donita menatap wajah Erlangga yang tampan dengan jas membalut tubuh kekarnya.
"Istri gue ga boleh capek, diem."
Donita mengernyit jijik. "Apaan sih, ga usah so romantis gitu!" lalu dia cubit hidungnya sekilas.
"Kita mau honey—"
"Ga! Jangan dulu, gue masih belum siap hamil." potongnya.
"Di luar bisa,"
"Lo di luar?! Mana bisa, semarah apapun gue, lo tetep tuh di dalem!" omelnya.
Erlangga menurunkan Donita di mobil. "Ga usah bawel. Nurut sama suami." lalu menggeser Donita dengan usil.
***
Erlangga turun dari atas Donita dengan terengah. Panggilan telepon terus berdering membuatnya dipaksa berhenti.
Jika panggilan sudah begitu tanda ada keadaan yang tidak bisa ditunda. Dari nada deringnya itu panggilan dari markas.
Donita menatap sayu ke pergian Erlangga.
Erlangga meraih ponselnya dengan kesal setelah memakai jubah piyama. Di menerima panggilan dan melangkah keluar.
Donita yakin, Erlangga memberinya obat agar terus bisa mengimbanginya. Malam pertama setelah menikah, pasti akan lebih gila dari biasanya.
Donita tidak percaya mereka benar-benar sudah menikah. Sahabat pria dan wanita mungkin memang tidak akan berhasil.
Erlangga di balkon terlihat marah agak panik. Keadaan di bisnis gelapnya ada yang mulai bergerak mengusik.
Erlangga tersenyum bagai devil. Musuhnya pikir dia akan kalah? Dia bisa menyogok semuanya dengam uang dan kekuasaan yang dia maupun ayah dan kakeknya miliki.
"Dia salah pilih waktu! Panggil Grey, biarkan dia yang membalas. Kita adakan pertemuan di tempat lain,"
Erlangga menghubungi ayahnya yang ternyata sudah turun tangan dengan tenang. Dia akan tetap pergi untuk membicarakan semuanya agar lebih jelas.
Apakah obat itu di sita, jelas akan menyebabkan kerugian. Tapi Erlangga yakin, mereka hanya ketahuan sebagian.
Erlangga meraih obat kecil dan segelas air. Dia harus menetralkan Donita dulu, malam ini dia harus pergi.
Erlangga membantu Donita duduk, menyelipkan obat dan mendekatkan segelas air hingga habis setengah.
Erlangga simpan di nakas. Membingkai wajah Donita, mengulum bibirnya rakus lalu mengecup rahang dan lehernya sekilas.
"Tidur. Gue ada urusan mendadak, gue pulang secepatnya." bisiknya lalu mengecup hidung Donita dan merebahkannya, menyelimutinya.
"Kemana?" Donita meraih lengan Erlangga.
"Gue jelasin besok," Erlangga beranjak untuk berpakaian..
***
Erlangga terlihat serius di sebuah ruangan temaram yang berisi orang-orang berpangkat, orang penting dan lainnya.
Erlangga menjelaskan semua kejadian, kerugian dan sebagainya.
Margaret menuliskan semua hal penting yang terjadi dari rapat ini.
Erlangga terlihat marah, mungkin karena mereka bertingkah di saat dia harusnya menikmati sebagai pengantin baru.
Apalagi dia berhasil memperistri sahabat terbaiknya. Perempuan yang selalu ada di saat dia kesulitan dulu.
Erlangga terus saja marah-marah, terlihat berkuasa yang memang dari semua orang yang ada di sana dia dan keluarganya yang paling kuat.
"Dia pasti mati!" geram Erlangga.
Grey pasti sedang merencanakan semuanya dengan matang. Siapa pun yang mengusiknya maka sama dengan dia menjemput kematian.
"Emily, dia aman?" Erlangga berjalan meninggalkan ruangan dengan diikuti anak buahnya yang memakai pakaian serba hitam.
"Aman, tuan muda. Nona tetap mengejar anak tersebut tapi kami pastikan nona aman, sepertinya cinta nona terbalas," lalu tersenyum formal.
Erlangga menoleh kesal. Tidak suka mendengar kabar itu. Sampai kapan pun keluarga mereka tidak akan menyatu.
"Hotel aman?" Erlangga belum bisa pulang. Donita hanya di jaga ketat dari luar maupun dalam gedung hotel itu sendiri.
"Aman, tuan muda."
Erlangga masuk ke dalam mobil khusus. Dia akan pergi ke pabrik rahasia yang di jaga ketat di sebuah hutan yang tidak terjamah oleh orang biasa.
Banyak sekali obat penemuannya di buru, maka tak heran banyak sekali musuh di sekitarnya semenjak 3 tahun lalu.
Dari muda memang memiliki musuh, tapi tidak sebanyak saat ini.
Erlangga menghela nafas panjang. Kantor saja banyak urusan, bisnis gelapnya ini juga banyak masalah.
Jika tidak ada Donita. Mungkin dia kurang hiburan dan pastinya akan semakin ganas bagai binatang buas.
***
"Kemarin malam ada apa? Masalah kantor?" Donita menyiapkan makan malam dengan terlihat masih agak lelah namun dia puas.
Erlangga memang terlalu gila. Apalagi setelah menyelipkan obat ke dalam mulutnya. Seketika dia sama liarnya.
"Hm. Rahasia kantor,"
Donita tidak bertanya lagi. Dia baru ingat soal obat. "Obat itu, obat p*rangsang?" tanyanya sambil mengaduk makanannya.
"Hm. Kita ga akan kuat sepanjang itu tanpa bantuan obat. Dari pagi sampe selesai hampir malem."
Donita meremang mengingat setiap detik yang terasa panas. Miliknya terasa bengkak mengganjal dan Erlangga juga mengeluh miliknya agak lecet.
"Keluar berkali-kali, badan rasanya seger," Erlangga mengecup pipi kiri Donita sekilas.
"Ck! Sahabat— maksudnya suami, lo jahat!"
"Ga usah drama, gue tahu lo mau lagi,"
"Jadi, lo mau honeymoon kemana?" Erlangga sendiri tidak yakin mereka bisa pergi atau tidak. Masih ada banyak masalah yang perlu di atasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Seranjang (TAMAT)
RomanceTentang Donita Dan Erlangga. Sahabat sehati sekaligus seranjang.