5. Selalu Ingin Di Hibur

11.3K 355 3
                                    

"Goyang mobilnya! Lo bisa pelan?" protes Donita sambil meliar menatap sekitaran tempat parkir rumahnya.

"Di sini masih banyak pelayan, tukang kebun!" Donita menahan desahnya, dia meremas bahu Erlangga.

Erlangga dengan terpejam.

Donita terengah. Dia berhenti sejenak.

"Gue ga punya waktu lama, Erlangga!" kesal Donita. "Gue ada urusan!" dumelnya.

Erlangga tidak peduli. Dia sedang mumet di kantor. Bukankah sudah sepakat, mereka akan menghibur satu sama lain jika diantara mereka sedang ada masalah.

Masalahnya Erlangga selalu ingin setiap saat. Tanpa ada masalah pun tetap ingin. Memang harus di seleding!

Donita hanya pasrah. Toh mereka main sebentar. 

***

"Sahabat macem apa tinggal bersama, nikah aja sono!" Fitra tertawa pelan sambil menyesap kopi kesukaannya.

Erlangga tengah duduk bersama teman dekatnya semasa kuliah di sebuah cafe. Di apartemen pun tidak ada Donita.

Dia memilih tidak merespon. Terus menyesap kopinya.

"Terus kerjaan lo gimana?" tanya Grey yang hanya duduk diam. "Gue denger adik lo deket sama anak mafia, lo ga bertindak soal itu?"

Ketiganya terdiam sejenak.

"Emily di deketin? Wah, bisa aja trik buat—"

"Bukan, adik gue yang centil." potong Erlangga dengan malas. "Gue udah suruh orang diem-diem, selama Emily baik-baik aja, gue ga akan mengibarkan bendera perang!"

Dia tidak akan memperburuk, lebih baik menjaganya dengan intens dari pada bertindak gegabah.

"Terus Donita sekarang tahu bisnis gelap lo?" tanya Fitra.

"Ga."

"Wah, kalian cuma ML ya.." Fitra menggeleng samar. Selama 12 tahun Erlangga menyembunyikan identitasnya. Bagaimana bisa. "Lo juga bikin dia jadi tester bisnis gelap lo!" kekehnya.

"Donita diincer lo tahu?" Grey bersuara dengan serius. Memang si paling serius si abu-abu itu.

"Ga mungkin gue ga tahu." Erlangga menggoyangkan gelas yang di pegangnya. Dia justru terganggu oleh itu di banding masalah klien yang rewel.

"Dia akan baik-baik aja selagi Grey temen kita," yakin Fitra.

Grey pembunuh bayaran yang sampai detik ini tidak pernah terendus musuh maupun polisi. Dia seperti hantu, memiliki hal spesial seperti itu.

Erlangga tersenyum dan mengangguk setuju. "Lo bener. Gue akan suruh lo buat abisin mereka sampai rata kalau berani sentuh Donita!" tegasnya dengan rahang mengetat.

"Woo.. Lo cinta Donita?"

"Penjahat kayak gue tahu cinta?" Erlangga balik bertanya dengan mengejek Fitra yang memang menjadi satu-satunya teman yang menjadi manusia biasa yang menggunakan segala hal dengan perasaan.

Fitra berdecak, merutuki kebodohannya.

Erlangga terdiam. Cinta? Dia jadi kepikiran soal itu. 

***

"Donita!" bentak Rahayu sambil mencekal lengan anaknya yang penuh emosi.

"Ibu pernah pikirin perasaan aku?" lirih Donita penuh luka dan berderai air mata. "Aku cuma anak satu-satunya, kenapa ga bisa rasain kebahagiaan?" lirihnya putus asa.

Rahayu terdiam.

"Ibu bahagia sama brondong-brondong ibu?" bibir Donita bergetar, mencoba menelan emosinya agar tidak durhaka..

Dia tidak ingin hidupnya semakin sial lagi.

"Donita!"

"Apa ayah bahagia bisa niru ayah? Selamat, kalian berhasil membuat anak kalian hancur sehancur-hancurnya!" Donita menarik kopernya meninggalkan rumah mewah itu tanpa peduli lagi.

Donita terus menangis selama di dalam taksi, lalu memberhentikan taksi entah di mana. Dia menangis di pinggir jalan di mana hanya ada orang asing di sekitarnya.

Donita tidak bisa memikirkan apapun lagi selain ingin menangis, melepaskan semua sesak di dada.

Keluarganya benar-benar hancur. Dia menjadi anak yang tidak jelas arah. Rumah yang dulu hangat kini hancur, dingin.

Donita tidak akan memilih ibu atau ayah. Dia akan berjuang seperti biasanya. Hidup di jalannya yang tidak jelas.

Erlangga turun dari mobil mewahnya dengan tenang. Langkahnya terayun hingga berhenti di depan Donita yang menangis memeluk lutut dirinya sendiri.

Erlangga melirik koper besar di sampingnya. Donita sepertinya benar-benar angkat kaki dari rumahnya kali ini.

Suara isak tangisnya begitu menyedihkan terselip emosi yang tertahan.

Erlangga berjongkok, mengusap kepalanya. "Kita pulang." bisiknya tanpa ingin banyak bertanya.

Donita tahu, di mana pun dia berada anehnya Erlangga akan menemukannya. Dari SMA hingga fase dewasa ini.

Entah bagaimana caranya. Donita tidak peduli, dia berterima kasih. Tanpa perlu usaha memberitahunya, Erlangga selalu datang menemukannya.

Erlangga mengangkat Donita ke dalam gendongannya, memerintah sopir membawa semua barang Donita. 

***

"Mereka beneran cerai. Gu-gue ga tahu akan sehancur ini, padahal dari dulu rumah gue emang retak." suaranya serak tercekat.

Erlangga tidak bersuara, dia hanya akan menjadi pendengar. Donita hanya butuh itu. Selama ini begitu.

"Gue anak broken home? Cih!" bibirnya bergetar dengan kedua mata berkaca-kaca walau ekspresinya dibuat angkuh, tetap saja kesedihan terlalu ketara.

Erlangga hanya mengusap sebelah jemari tangan Donita yang ada di genggamannya. Tangannya begitu dingin, entah dari kapan Donita menangis di sana.

Yang jelas dari terang ke malam.

"Gue capek." lirihnya bagai bukan Donita. Kepalanya menunduk, begitu rapuh.

Erlangga menoleh, menatap itu. Genggaman Donita di tangannya melemah. Kepalanya mulai bergerak ke samping.

Erlangga menangkapnya. Donita pingsan. Tubuhnya begitu dingin.

Erlangga memeluknya erat. "Maaf, gue telat temuin lo." bisiknya, berusaha mengusap punggung Donita agar menghangat.

Erlangga terlalu asyik dengan teman-temannya sampai tidak memeriksa titik keberadaan Donita.

Erlangga mengusap punggung Donita. Di mana sebuah chip dia tanamkan di sana. Dulu memang mengandalkan GPS yang di tempelkan di ponselnya.

Tapi sejak pernah kehilangan ponsel, Erlangga mencari cara lain. Entah sejak kapan dia ingin melindungi Donita.

Mungkin karena dia memiliki musuh yang berbahaya.

"Kita ke rumah sakit." perintahnya.

***

"Kita di rumah sakit." Erlangga mengusap tengkuk Donita.

Keduanya sama terengah setelah saling melumat dan melahap bibir satu sama lain.

Donita hendak mendekat lagi namun Erlangga tahan keningnya. "Demam lagi tinggi, lo kena flu, mau tularin gue?" bisiknya di depan wajah Donita yang layu.

"Lo udah ketularan kali." Donita menyingkirkan tangan Erlangga lalu menarik tengkuknya lagi.

Erlangga pasrah saja saat bibirnya kembali dilumat. Nafas Donita begitu hangat. Bukannya istirahat malah mengundang.

Erlangga menjauhkan wajahnya setelah cukup dalam dia membalas ciumannya.

"Gue tahu, lo butuh hiburan. Tapi, lo sakit. Gue ga melayani wanita sakit," Erlangga merebahkan Donita, menyelimutinya.

"Ga usah rewel! Lo lemah sekarang, ga sukakan gue kasihani? Jadi istirahat dan sembuh! Abis itu gue janji hibur lo."

Donita memunggungi Erlangga, Erlangga mengusap punggungnya. Kebiasaan Donita jika sedang sakit.




Sahabat Seranjang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang