CHAPTER XVIII : How You Get The Girl

426 35 6
                                    

Entah mana yang lebih terasa menyedihkan: berada di keramaian sendirian, atau merasa kesepian dalam tempat sunyi? Keduanya membunuhku, membuatku ingin menenggelamkan diriku di lautan dan tidak pernah kembali.

Aku tidak pernah menyangka akan menghabiskan waktuku untuk terus menangis, bahkan meski aku mulai lelah menangis. Hanya saja rasa sakit di dadaku tidak pernah berkurang, seakan terus ditusuk jutaan pisau hingga menembus ke jantungku-berulang kali.

Sepanjang hari ini aku habiskan dirumah. Aku melewatkan kuliahku dan memilih berdiam diri di kamar. Tidak membantu sebenarnya karena aku tetap merasa tidak ada yang bisa membuatku setidaknya teralihkan dari perasaan ini. Hanya saja berada di dalam kamar dan bersikap seperti adanya lebih baik daripada harus memasang wajah baik-baik saja pada orang-orang dalam kondisi yang sangat berlawanan.

Dan aku berada disini, memandangi kalung pemberian Harry dan juga foto yang aku ambil dari polaroidnya entah berbulan-bulan lalu. Semua itu rasanya sudah sangat lama berlalu. Aku memandangi foto Harry dengan rambut basah dan bertelanjang dada sehabis mandi. Tato-tato memenuhi tubuhnya. Betapa mudahnya saat itu. Sangat mudah dan menyenangkan.

Lalu pandanganku beralih pada kalung bebandul pesawat kertas yang pernah menghiasi leherku sebelum akhirnya aku melepasnya-aku tidak ingin mengingat alasan aku melepas kalung itu. Kini aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau aku ingin melupakan Harry, seharusnya aku berhenti memandangi benda-benda ini dan membuangnya-atau mungkin menyimpannya. Entahlah, banyak hal yang membuatku terus meragukan diriku sendiri.

"Taylor,"

"Aku akan makan nanti, Austin." Sahutku sebelum adikku sempat melanjutkan kalimatnya. Sejak pagi entah sudah berapa kali ia mengetuk pintu kamarku, untuk memastikan apakah aku masih hidup kurasa.

Austin tetap mengetuk pintu kamarku. "Aku tidak mengajakmu untuk makan, ya meski kau harus makan karena kau belum keluar dari sarangmu sejak pagi." Ujar Austin diselingi tawa kecil.

Aku tidak menjawab.

"Seseorang ingin bertemu denganmu," ujar Austin lagi.

"Katakan aku tidak ingin bertemu siapapun."

Tidak ada sahutan dari Austin. Baguslah.

Beranjak ke sofa, aku meraih dan memetik gitarku asal. Biasanya memainkan nada-nada dari gitarku bisa membuat perasaanku lebih baik. Tapi kali ini tidak. Semua hal tidak bisa membuatku merasa lebih baik bahkan saat aku tertidur sekalipun. Seakan semua kenyataan dan kejadian yang baru saja terjadi menelusup masuk ke dalam mimpiku, dan terasa sangat nyata.

Lagi-lagi pintu kamarku diketuk. Jengkel, aku beranjak dari sofa dan berjalan cepat ke arah pintu dan membukanya kasar. "Sudah ku katakan, Austin-" kalimatku berhenti begitu saja. "Harry..." aku mencoba menelan bongkahan besar dalam tenggorokanku.

Sesaat saat aku hendak menutup pintu kamar, Harry menahannya. "Please, beri aku waktu untuk menjelaskan."

"Oh, kukira kau belum mengerti, Harry," ujarku dingin. "Saat aku mengatakan 'selamat tinggal', bukan dalam artian aku ingin menemuimu lagi. Jadi, silahkan pergi dari sini. Oh, terserah kau saja, mungkin kau mau bermain dengan Austin? Dia cukup menganggu belakangan ini."

Aku menutup pintu, kali ini tidak peduli apakah Harry masih berdiri di depan pintu kamarku atau sudah berbalik pergi-meski aku berharap dia masih berada disana.

"Dengarkan aku Taylor..." aku bisa mendengar suara Harry dengan jelas. Tanpa sadar aku berdiam di depan pintu, menunggu Harry kembali bersuara.

"Malam itu aku hendak pergi ke tempatmu, meminta maaf padamu karena aku terlalu keras saat berkata kau tidak usah mengurusi masalahku. Namun sekelompok orang tiba-tiba mengepungku, aku kira mereka mau merampok. Aku bisa melawan beberapa dari mereka, hanya saja ada empat atau lima orang saat itu..."

Stuck in Circle | haylor ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang