5.758 KM

2.9K 140 10
                                    

[5 Mei 2018]

5.758 km. Estimasi jarak antara Jepang dan Depok. Itupun kalau dihitung dengan garis tegak lurus.

Jauh. Jauh sekali.

William tahu betul risikonya. Meninggalkan Haya tanpa status yang jelas bukan hanya tidak aman bagi hubungan keduanya, melainkan juga bagi kesehatan mentalnya. Mungkin itu sebabnya membawa topik itu di perbincangan keduanya jadi begitu sulit. Lebih-lebih sulit ketika yang diajak bicara hanya fokus pada ramen dan tteokbokki di hadapannya.

"Pelan-pelan aja, Ay. Itu rambut lo kena kuah," tegur William halus. Tangan kirinya aktif menghampiri sisi wajah Haya, menyampirkan rambut panjang hitam pekat nan halus wanita itu ke belakang bahunya.

"Haya, makannya yang benar."

"Maaf. Maaf. Gue sekarat."

Mendengar itu, William hanya tertawa. Haya is naturally funny. Entah karena pembawaannya yang menyenangkan; entah karena semangatnya yang begitu besar bersemayam di tubuhnya yang kecil; atau karena pada fakta bahwa ia jatuh cinta berat pada perempuan itu dan semua perkatannya adalah pemicu keluarnya dopamin.

"Gimana tadi rapatnya?" tanya William lemah lembut. Di depan wanita pujaannya itu, suara William hanya akan berada pada range pelan atau lembut sekali, beda jauh kalau sedang bersama Ansel dan teman-teman prianya.

Haya berhenti sejenak, dengan antusias menjawab, "Berjalan baik."

"Kan gue bilang apa. Public speaking lo tuh bagus. You are quick witted. It's all in your head aja, Ay."

"Tapi ini karena lo gak sih, Will. Kalau gak latihan sama lo pasti gue masih gugu gaga," jeda Haya sebelum dengan mata berbinar, mencondongkan badan, dan senyum cengenges melanjutkan, "Makasih ya, William."

Terkadang William berpikir, alangkah menyenangkannya apabila Haya keturunan Professor X di film X-Men. Ia bisa baca pikiran, kemudian mengetahui seberapa kacau dan berdampaknya senyum itu di dalam pikirannya. Bukan lagi ombak, hampir seperti tsunami.

"Makasih doang?"

"Mau reward apa?"

Menyodorkan pipinya ke depan, William mencoba peruntungan.

"Skincare?" Haya bertanya polos. Kata pertama yang muncul di pikirannya saat melihat pipi William hanya SK II.

"Cium."

Permintaan tak tahu malu itu membuat Haya menegakkan punggung dan menurunkan sumpitnya. Berusaha bersikap tidak terpengaruh (namun gagal), ia gemetar membenarkan ujung cardigan pinknya.

"Apa sih, Will." Keluar jawaban andalannya yang acuh tak acuh, berbanding terbalik dengan pipinya yang bersemu merah. Ronanya mengalir hingga ke ujung kukunya yang bergerak menyentil pipi William menjauh.

"Gak boleh tahu begitu sama teman cewek. Nanti mereka salah paham lo yang susah loh," omel Haya ngebut. Bicara seperti rapper adalah mekanismenya untuk bertahan diri dari efek salting.

William tahu betul kebiasaan itu. Dan oleh sebab itu, menggoda Haya dan membuat pertahanannya jatuh ke jurang selalu menjadi misinya.

"Emang teman gak boleh ciuman?"

"Bahasa lu bahaya!"

William mengoreksi malas-malasan,"Emang teman gak boleh cipika-cipiki?"

"Mana ada teman cipika-cipiki?"

"Lo sama teman-teman lo?"

"Kan sejenis, Willy."

"But my mom—"

Teman KondanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang