Senyum di wajah William otomatis tersungging begitu melihat bunga hati yang ia rindukan muncul dari layar ponsel, yang sebelumnya tampak cemas panggilannya tidak kunjung diangkat, kini manyun dengan ekspresi manjanya yang khas.
"Ya Tuhan, sampai telepon segala," gumam pria itu takjub. Tawa kecil di ujung bibirnya. Bahkan ketika ia memohon, seringkali ia gagal memancing perempuan itu untuk melakukan panggilan video. Siapa sangka malah diberikan cuma-cuma hanya karena sebuah dark joke.
Bukankah itu menunjukkan bahwa dibalik hobi Haya untuk menangkis intensi romantis darinya, pada saat yang amat dibutuhkan gadis itu hadir dan peduli?
Mungkin William perlu mempertimbangkan untuk melakukannya sering-sering.
"Ketuk kepala tiga kali, terus ketuk meja tiga kali." Haya menirukan, memerintah yang lebih tua untuk segera mengikuti. "Sambil bilang, "amit-amit cabang bayi" cepet!"
"But men don't get pregnant, Sweetheart." Suara pria itu terjun 1 oktaf, kontras dengan nada girly dari gadis itu merengek jengkel, "Ihh....William! Lakuin aja bisa gak?"
"Iyaaa iyaa....amit-amit...cabang bayi." Tanpa sedetik pun lepas kontak, sang pria mengikuti apa yang dimau oleh wanitanya. Karena penurut, yang di seberang tepuk tangan kecil, seakan memujinya good boy.
Kening William sampai berkerut menghadapi agresi imut tersebut. Haya aslinya mungil, dan tampak lebih mungil dalam layar ponsel. Digenggamnya erat-erat layar ponselnya, menyalurkan perasaan rindu yang kian membesar, yang barang pasti akan semakin memberat selepas panggilan video tersebut berakhir.
"Kamu lagi di mana itu? Ganteng banget," tanya Haya penasaran. Meski buram, pria itu lebih bersinar dan tampan daripada biasanya. Mungkin karena kemeja putihnya, pria itu selalu ganteng pakai baju putih; mungkin karena rambutnya yang ditata ke atas; atau mungkin karena rasa kangennya yang sudah tidak terbendung. Ketiganya mungkin juga benar dan Haya rasa, dari segala hari di kalender, William harus tahu ia tampak menawan hari ini.
Yang dipuji kesulitan mengendalikan sudut bibirnya. Haya yang blak-blakan seperti ini tidak pernah gagal membuatnya salting luar biasa. Memilih menyerah, ia tersenyum lebar macam orang bodoh saat menjawab, "Aku lagi di studio."
"Mau ketemu klien ya?"
"Iya, tapi orangnya belum datang."
Ujung alis Haya menyatu, ragu-ragu bertanya, "Aku ganggu kamu ya?"
"Enggak, i got plenty of time kok." Menjilat bibir bawahnya dan mengubah posisi duduk agar lebih nyaman, William melanjutkan, "Mau ngomongin apa?"
"Banyak! Kalau ganggu aku telepon nanti aja."
"Enggak, Sayang, enggak ganggu. I'm all ears."
Panggilan itu lancar keluar sekali lagi. Hampir seperti sebuah kebiasaan daripada sesuatu yang disengaja. Sejatinya, William sudah sering dikoreksi, terutama di lingkungan kerja. Pernah suatu ketika, ia kelepasan memanggil Haya dengan sebutan sayang di lantai 20, membuat 14 karyawan di ruangan tersebut membeku di tempat mendengarnya. Kalau bukan karena kecepatan berpikir gadis itu untuk buru-buru menyambut dengan "Saying what? Sorry, i don't hear you." mungkin gosip tentang mereka sudah menyebar seantero gedung.
Bicara gosip, sebenarnya tidak sedikit juga yang menganggap keduanya "rahasia umum". Beberapa lainnya tidak percaya akan gosip dan menganggap William semata-mata genit saja. Pikir mereka, sah-sah saja jika direktur muda itu punya satu karyawan favorit yang dijadikan "hiburan". Pelepas stres hitung-hitung. Selebihnya menganggap mereka sepupu karena hubungan keduanya yang teramat dekat, apalagi kebetulan keduanya sama-sama chinese dan punya wajah yang lumayan mirip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Kondangan
FanfictionPenggalan kisah cinta antara William dan Haya, si penikmat buffet kondangan dan fake extrovert yang gak bisa apa-apa tanpa teman kondangannya. *Contain Harsh Word *Rating might change to 18 - 21 ke atas (This story based on AU from X. For full story...