Love Language (21+)

4.3K 197 78
                                    

(Sabtu, 2 December 2023)

"Love language lo apa, Mas?" Pertanyaan dari Isyana adalah awal dari terbukanya kotak pandora. 

Dalam agenda double date keempat mereka—yang bertujuan untuk saling mengakrabkan diri—kedua pasangan itu duduk di Louis Cafe, menyeruput kopi demi membebaskan mulut yang berminyak dari daging steak yang dimakan sebelumnya pada Sabtu siang yang cerah.

Untuk pertanyaan tersebut, William ragu-ragu menjawabnya. Alih-alih melihat pasangannya terlebih dahulu, seolah menimbang apakah ia boleh mengatakannya dengan jujur atau perlu menyensor beberapa bagian.

"Sama sih sama Haya," jawabnya cari aman. Pasalnya, di antara lima love language yang ada, hanya miliknya yang rentan dengan persepsi negatif.

"Berarti kalian sama-sama quality time?"

"Iya," sambar Haya mantap, bantu William menjawab. Perempuan itu sadar apa yang ia maknai sebagai quality time berbeda dengan apa yang mungkin William maknai sebagai quality time.

Mungkin, bagi pasangannya yang hari ini terlihat sangat tampan dalam balutan sweater hijau slytherin—yang jika bukan karena keduanya sibuk dengan aktivitas masing-masing pada sore hari, barang pasti telah berakhir di lantai apartemen bersama baju-baju lainnya—quality time adalah termasuk di dalamnya sesi panas, desahan, rintihan, dan teriakan panjang memanggil namanya.

Sedangkan baginya, quality time adalah bagaimana cara ia menikmati kehadiran William, mulai dari ketika keduanya bisa ngobrol tentang topik-topik dalam kehidupan sehari-hari di atas kasur sehabis bercinta; masak makanan yang kebanyakan rasanya tidak enak di pantry-nya yang kecil; berbelanja rutin di Margo City; atau saat ia dipangku, menikmati angin di balkon apartemen William di lantai 19 sembari keduanya pura-pura jadi ahli rasi bintang, menebak nama dari titik-titik berkelip yang tersebar di langit malam.

"Kalau Mas Esa?" Haya basa-basi balik bertanya, sebab jika tidak Isyana akan lupa bahwa ia terlalu memimpin percakapan dan terkadang luput melibatkan suaminya yang super pendiam itu.

"Aku? Aku act of service."

Belum sempat ia menjabarkan, istrinya yang aktif dan ceriwis keburu menyambar terlebih dahulu. "Mas Esa sama kayak Haya. Orangnya act of service banget. Suka merhatiin orang lain."

William yang merasa pernyataan itu keliru segera menggeser badannya menghadap Haya. Dengan mimik muka ngambek, ia meminta klarifikasi, "Tapi kamu kok enggak suka aku perhatiin?"

Membela William, Isyana ikut memanasi, "Kok lo gitu sama laki lo?"

"Dia nih, Sya, dikasih apapun enggak mau. Semuanya ditolak," tambah William hebring menimpali, merasa senang akhirnya Isyana berada di kubunya.

Haya, sebagai objek yang sedang dicecar, hanya dapat melirik William jengkel. Bagaimana tidak ditolak, dua hari yang lalu tiba-tiba lelaki itu datang dengan pulpen dan sertifikat hak milik, meminta tanda tangannya untuk alih kuasa atas rumah seharga 6 miliar.

Cerita tentang kado grandiose ini juga diketahui oleh Isyana. Dan meskipun temannya itu marah-marah mengkritik pilihan Haya di telepon, memanggilnya cewek bego dan semacamnya, pada pertemuan ini ia justru berkata, "Lagian lo sih, Mas, ngasih sertifikat rumah segala. Yang benar aja."

"Kenapa enggak?"

"Cewek takut, Mas."

"Kok takut? Kenapa harus takut? Kan udah lunas."

Jawaban polos dari William membuat Isyana tepuk jidat. "Ya tuhan, Mas. Lo ngobrol sama Mas Esa deh."

Dengan tatapan linglung, William beralih pada kekasihnya, meminta dukungan, "Emang salah ya?"

Teman KondanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang