Bercinta Sampai Mati (18+)

3.2K 160 28
                                    

Selama 27 tahun hidup dan bernafas, Haya ingat ia selalu berada pada jalan yang lurus.

Sejak kecil, ia pandai berbicara dan perbendaharaan katanya luas. Celotehan cerdas dengan tampang menggemaskan merupakan faktor utama mengapa ia menjadi pusat perhatian oleh kaum ibu-ibu, baik pada pertemuan keluarga maupun pertemuan kelas di TK B.

Ia juga ingat, sorotan itu bertahan lama hingga ia memasuki SMA, semata-mata karena ia cantik dan selalu juara kelas. Haya sudah elok sedari kecil, dan semakin rupawan saat puber. Ia memenuhi hampir seluruh standar kecantikan pada umumnya di Indonesia; kulit putih bersinar; bibir merah muda; dengan rambut halus serta tebal. Fiturnya khas peranakan chinese, kecuali pada kedua matanya yang belo, naif, dan bersinar.

Dan karena ia ramah dan murah senyum, tidak ada satupun cowok—setidaknya di kelasnya—yang tidak naksir Haya barang sekali.

Tidak berlebihan untuk dikatakan bahkan, pada suatu masa di SMA, cowok-cowok dari lain kelas dan tingkat menantikan ia di kelas Penjaskes, berjejer di lantai atas seperti penonton di pertandingan baseball. Sebabnya jelas, Haya dalam pakaian olahraga yang pas badan dan berkeringat; mengikat rambut; dengan kulit yang berubah warna menjadi pink merona di bawah sinar matahari adalah suatu pemandangan yang indah, terutama bagi remaja nanggung dengan hormon yang sedang kacau-kacaunya.

Kadang seseorang akan berjalan di sekitar lapangan sambil iseng memanggil namanya "Chaya...aaantik", lalu kabur begitu mendapat perhatian.

Mungkin karena perhatian-perhatian yang begitu banyak itulah, tanpa disadari ia selalu berusaha menjaga image positif, hingga ke tingkat di mana ia tidak pernah menyumpah. Kosakata sumpah serapahnya hanya sial, bego, dan bodoh.

Haya selalu menjadi siswa teladan. Kegagalan pertamanya di bidang akademik adalah ketika ia gagal masuk di pilihan pertamanya, Kedokteran UI, baik lewat jalur SNMPTN pun SBMPTN.

Jalur lain terlalu mahal, ayahnya yang saat itu kena PHK tidak mungkin sanggup membayar. Sebagai manusia yang berpegangan teguh pada jalan yang lurus, gadis itu coba magang di Rasinta, hitung-hitung nabung untuk dana kuliah. Namun, selayaknya problematika umum pekerja muda, karena lingkungan yang nyaman ia keterusan.

Dan karena ia selalu berada pada jalan yang lurus dan konvensional, ia menyadari pentingnya pendidikan, sehingga bersama teman-teman Rasinta lainnya Haya memutuskan untuk mengejar gelar, walaupun sudah tidak sesuai dengan minat dan passion-nya di masa lalu. Berada di kelas karyawan, tidak serta merta membuat semangat belajarnya loyo. Nilainya tetap kebanyakan A. Ia membuat IPK 3,95 terlihat mudah untuk diraih.

Lagi dan lagi, Haya selalu menjadi model untuk orang-orang di sekitarnya. Dalam waktu singkat, ia dipromosikan jadi head, posisi yang rasanya mustahil diraih oleh teman seusianya.

Ia terlalu menonjol.

Tetapi bahkan bunga harum di taman, menarik bukan hanya oleh lebah, melainkan juga lalat.

Barangkali karena ia terus menyandang predikat panutan dan melakukan hal itu terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan, pada suatu titik timbul kejenuhan. Ia mulai benci jadi pusat perhatian.

Maka kebencian lambat laun tumbuh menjadi sebuah ketakutan.

Dan sebelum ia menyadari bahwa perubahan drastis juga sama menakutkannya, ia memutuskan untuk berada di tengah. Berperan sebagai pribadi yang rata-rata terasa lebih aman dan tanpa risiko.

Bukan hal yang positif memang, tetapi ia menyukai keadaan stagnan.

Dan orang-orang stagnan seperti Haya selalu berada di jalan yang lurus.

Teman KondanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang