[30 Desember 2023, 08.55]
"Lama lu! Lihat ini udah jam berapa?"
"Wajar kalee gue lama. Rencananya aja baru dibicarain tadi malam."
"Alesan! Kita-kita aja bisa datang tepat waktu tuh. Lu nya aja ganjen kebanyakan dandan."
"Eh dengar ya. Kita nih mau liburan, wajar kalo gue dandan. Emang lo? 11-12 sama mamang-mamang vila."
"Noh Si William juga kayak penjaga vila gak lu komenin."
"Dia ada komen tentang gue gak? Gak kan! Gak kayak lo bawel."
Di kursi depan, Haya memijat kepalanya pusing, sesekali menutup kedua telinganya dari kedua insan yang terus-terusan adu mulut.
Berisik!
Keputusannya untuk membantu keduanya berdamai pada liburan kali ini tampaknya keliru. Memberi catatan pada dahinya, ia bersumpah tidak akan lagi sudi terlibat dalam pertengkaran rumah tangga orang lain.
William di kursi pengemudi turut iba. Tangannya menjulur pada dahi kekasihnya kemudian memijit lembut dan penuh sayang, mengingatkan Haya pada satu ingatan spesifik di musim hujan di kelas 9, saat mendiang ayahnya menjemputnya dengan mobil sehabis bimbel, saat keluarganya masih berada pada masa jaya.
"Pusing?"
Haya mengangguk.
Pertanyaan yang sama turut serta disampaikan William sesaat setelah keempatnya sampai di PSK, Pondok Sate Kiloan di jalan raya Bogor. Macet karena penutupan satu arah membuat 4 serangkai menyerah meneruskan perjalanan sehingga secara rasional memilih untuk istirahat makan siang di bahu jalan.
Di belakang sejoli yang saling bantu (karena sang wanita merasa mual luar biasa), dua insan masih pada keinginannya untuk bergelut.
"Coba kalau kita berangkat lebih pagi. Gak akan kena macet."
"Gue udah minta maaf ya, Sel. Lo bisa berhenti gak nyalahin gue terus?"
Mendengarnya, sembari membopong Haya masuk ke dalam, William bergumam, "Kamu kalau berantem sama aku jangan panggil lo-gue ya. Aku kayaknya nangis kalau dipanggil gitu sama kamu."
Sang perempuan ingin tertawa, tetapi rasa mual yang menghadang setiap ia membuka mulut memaksanya untuk mengangguk lemas, memberikan respons seadanya.
Duduk di lesehan, ia merebahkan diri di paha kekasihnya, tidur dengan wajah menghadap ke langit-langit saung selagi menunggu pelayan datang ke meja mereka. Sementara kekasihnya masih setia mengelus puncak kepalanya tidak lelah-lelah, sesekali memijat leher, kening, dan perutnya, menyebarkan minyak kayu putih dan sisa balsem yang efeknya mulai habis.
Jam makan siang, macet, cabang terkenal. Tiga dari sekian faktor yang membuat mereka menunggu bermenit-menit tanpa satu pun pelayan mampir meski sudah dipanggil berkali-kali. William yang habis kesabaran terpaksa pergi ke kasir. Dengan entah apa metode yang digunakannya-tentu saja uang-ia kembali dengan seorang pelayan.
"Kang, ada soda enggak?"
"Enggak ada, Koh. Kita adanya jus-jus aja."
"Boleh nitip di luar enggak?" tanya William dengan raut minta tolong. Ia selipkan 4 lembar kertas warna merah ke tangan lawan bicara. "Istri saya mual soalnya."
Yang diberi isyarat segera mengerti. "Satu?"
"Dua, Kang. Saya juga," titip Siska.
Belum sempat sang pelayan pergi, mulut Ansel sudah gatel untuk buka suara, "Masih pacaran udah manggil istri. Nanti pas nikah malah manggil nenek sihir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Kondangan
Hayran KurguPenggalan kisah cinta antara William dan Haya, si penikmat buffet kondangan dan fake extrovert yang gak bisa apa-apa tanpa teman kondangannya. *Contain Harsh Word *Rating might change to 18 - 21 ke atas (This story based on AU from X. For full story...