Selamat membaca🤍
...
Menghabiskan waktu dengan mengotak-atik keyboard laptop lebih baik dari pada hanya sekadar duduk bermenung di ruangan sembari menyalakan TV. Sedari masuk pondok Gisell sebetulnya sudah bertekad untuk memulai hobinya di dunia menulis. Namun sempat terhalang waktu karena harus mengaji di pondok setiap saat. Alhasil rutinitasnya dalam menulis buku juga ikut terhambat dan sering ngaret. Meski pun terkadang di pondok sebenarnya ia bisa melanjutkan tulisannya dengan menggunakan komputer labor, namun bagi Gisell bekerja dengan menggunakan satu alat itu lebih baik daripada menggunakan alat-alat yang lain sebagai cabang.
Susah baginya, namun terasa ringan jika usulnya pernah direspon pihak pondok untuk menulis buku antologi puisi yang bergenre religi. Meski pun para penulis dari buku itu adalah penulis pemula yang biasa dikatakan amatir. Namun Gisell justru senang jika mereka mau memulai sesuatu yang baru.
Makanya di sekolahnya yang baru ini Gisell ingin mencoba hal yang pernah ia lakukan dahulu di pesantren.
"Berapa kali lagi harus kita bilang sama lo, sekeras apa pun lo berusaha mereka tetap gak bakalan respon sekali pun lo bakal kayang pas parade demi dinotice."
"Aku sih gak peduli, yang terpenting mencoba itu nomor satu!" Ucapnya yang menghasilkan nada pasrah dari Yona di seberang sana.
"Terserah lo juga sih, Sell. Gue sama Yona juga gak bisa larang lo terus, gue support meskipun rada mustahil buat dilakuin." Ujar Ayren.
Gisell tersenyum, "Sesuatu yang mustahil berhasil bisa jadi mustahil gagal kalo Allah udah bertindak."
Yona menghela napas, "Ya deh, tapi by the way hari pertama lo sama Kak Gara gimana?"
"Gak gimana-gimana selain bikin aku malu." Jawabnya.
"Ya gak heran sih, namanya juga Kak Gara." Ujar Ayren, "Tapi lo gak diapa-apain kan sama dia?"
"Tadi sih enggak, gak tahu kalo besok. Bingung juga kenapa harus tujuh minggu aku ladenin dia."
"Uhuk! Uhuk!"
Gisell mengernyit ketika suara batuk Yona terdengar di telinganya.
"Kamu gak papa, Yon?"
"Gak papa, lo beneran gak tahu tujuh minggu ke depan bakal ada apa?"
Gisell mengernyit heran, "Emang kenapa?"
Tidak ada yang menjawab, justru sambungan telepon mereka bertiga tertutup begitu saja. Gisell merungut, antah siapa yang menutup telepon itu yang pasti bukan darinya. Pertanyaannya yang belum terjawab justru meninggalkan kesan yang membuat Gisell tiba-tiba penasaran.
"Gisella?"
Sejenak gadis itu mendongak ke ambang pintu, terlihat seorang perempuan paruh baya sedang berdiru di sana. Membawa sebuah kotak yang antah apa itu isinya.
"Bunda?"
Hindun tersenyum tipis, dilihatnya anak gadis semata wayangnya itu ternyata masih sibuk dengan laptopnya.
"Kok kamu belum tidur?" Gisella menggeleng, "Masih ngerjain ini, Bun."
Hindun manggut-manggut, "Kamu antusias banget ngerjain karya tulisnya, emang udah bab berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga Musim Semi✔️ [END]
Roman pour Adolescents[FOLLOW SEBELUM DIBACA] Abyan Anggara adalah musisi terkenal yang penuh dengan misteri. Laki-laki agresif dan tempramen yang membuat seantero sekolah takluk dengannya. Melalui musik, Gara mengisi hidupnya sendiri. Konser setiap waktu dan tak peduli...