C H A P T E R I I I

1.1K 138 53
                                    

Kak, Mama bisa pinjam 150jt dulu bisa gak buat nambah angsuran bulan ini - Mama 🤍

Sebulan bisa dua kali mama pinjem uang ke gue kadang minta yang gak pernah kembali. Gue ikhlas kok cuma kadang ngeluh aja kayak berasa generasi sandwich.

Gue bukan orang miskin, dari SD sampai SMA gue sekolah di internasional school yang isinya orang berduit semua makanya gue bisa temenan sama Geeta.

Tapi roda itu berputar kadang di atas kadang di bawah, cuma roda keuangan keluarganya Geeta aja yang keganjel makanya diatas terus. Tiga generasi tiap tahun kayaknya makin tambah kaya aja.

Semua ini bermulai saat almarhum papa gue kena kasus perizinan tambang yang merembet ke gratifikasi dan akhirnya membuat keuangan keluarga gue carut marut selama lima tahun ini. Mama gue yang mantan artis, gak bisa ninggali kehidupan hedonnya. Mana Papa meninggal ninggalin banyak hutang juga yang nilainya gak cuma lima atau sepuluh milliar tapi ratusan. Udah banyak aset dan properti yang dijual tapi tetep aja hutang peninggalan papa masih banyak.

Ditambah tahun kemaren Mama juga jor-joran buat nyaleg dan akhirnya gagal. Makin aja menjadi-jadi masalah keuangan di keluarga gue.

Mungkin karena itu Mas Khai nawarin hal gila itu. Geeta pasti dikit-dikit cerita tentang kondisi keuangan gue. Meski sekepepet apa gue gak pernah minta bantuan keuangan ke Geeta.

Tapi apa semenyedihkan dan serendah itu gue di mata Mas Khai.

Gue marah tentu aja. Tawaran itu sangat menghina buat gue.

Dug. Dug.

Suara ketukan pintu membuat lamunan gue buyar. Mas Khai yang berada di balik meja di belakang gue sibuk dengan satu dokumen di tangannya menjawab, "Masuk."

Sekretaris Mas Khai kalau gak salah namanya Dio muncul dari balik pintu.

"Pak, kita akan segera landing." Lapornya dan kembali keluar.

"Pakek sabuk pengaman kamu, Kall." Beritahu Mas Khai. Membuat gue kembali harus duduk berhadapan sama dia.

Tanpa sepatah kata pun gue mengikutin perintahnya. Gue belom ngomong apapun sejak Mas Khai menyatakan tawarannya yang hina itu. Gue sebisa mungkin menjauh dari dia di ruang pesawat yang sempit ini. Gue duduk di sofa panjang dan Mas Khai di kursi yang bisa dijadikan meja kerja. Dibagian lebih belakang ada kamar mandi dan bathtub juga kamar tidur yang cukup luas.

Menghindari tatapan Mas Khai, gue memilih buat melihat pemandang keluar jendela. Nagoya mulai terlihat dari atas.

Gue ada di kamar suite, Hotel Hilton di Nagoya. Sekretaris Mas Khai yang nganterin gue ke sini. Sedangkan Mas Khai, ada meeting di bawah dan setelah itu harus pergi ke sebuah pabrik di sini.

"Pak Khailan mungkin kembali ke hotel malam," Bang Dio memberi tahu dengan sopan tanpa ekspresi.

Gue ngangguk paham, "Makasih, Mas."

"Kalau butuh apa-apa anda bisa menghubungin saya," katanya mengeluarkan sebuah kartun mana.

Gue terima kartunya, "Hmm, panggil aja Kalla."

Bang Dio hanya mengangguk sebelum berpamitan pergi.

Drrttt. Drrttt.

SUDDEN BOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang