C H A P T E R X I I I

718 116 29
                                    

"Kamu dimana?" Suara tidak asing dari seberang telepon membuat mata gue terbuka sepenuhnya.

"Mas, jadi pulang?" Gue duduk dan melihat jam weker digital di nakas pukul 01.36 am.

"Kamu gak nginep di apartemen?" Tanya Mas Khai lagi.

"Aku di rumah, Mas. Mama dateng dari Bandung tadi pagi."

"Kamu baru nyampe apartemen?"

"Baru aja dan kamu gak ada." Ujar Mas Khailan yang terdengar kecewa dengan suara serak.

"Mama dateng mendadak, Mas. Aku juga lupa ngabarin kamu, maaf."

"Hmm."

"Kamu kedengeran capek banget, Mas. Langsung tidur aja." Biasanya kalau gue di penthouse Mas Khai gue suruh air panas baru tidur meski pulang malem buat merilekskan badan. Mandi tuh bisa bikin capek lumayan hilang.

"Gak ada kamu," kali ini Mas Khai merajuk membuat senyum tersunging di bibir gue. Gue bisa bayangin gimana bibir Mas Khai cemberut saat mengatakan itu. "Kapan bisa ketemu?"

"Aku besok ada schedule pagi gak tahu sampai jam berapa," gumam gue yang juga kangen sama Mas Khai.

"Besok kamu gak kemana-mana kan, Mas?"

"Rabu aku ke Abu Dhabi. Kamu ikut." Itu bukan ajakan tapi perintah.

"Berapa hari?"

"Empat atau lima hari."

"Aku liat schedule aku dulu Mas. Kayaknya minggu ini full deh, Mas." Lirih gue.

"Aku udah bilangkan jangan ambil banyak kerjaan. Aku bisa ngasih kamu berapa pun yang kamu minta." Suara Mas Khai dari seberang terdengar jengkel.

"Mas, kita pernah bahas ini. Aku gak mau ribut lewat telepon." Apalagi di pagi buta gini.
Helaan nafas kasar terdengar dari seberang, "Kabari kalau besok kamu udah selesai."

"Iya." Telepon dimatiin tanpa salam manis seperti biasanya, Mas Khai marah.

Harusnya gue yang marah. Ketika Mas Khai membuat gue berpikir bahwa hubungan kita bukan cuma sekedar kesepakatan bisnis dengan nominal yang fantasi. Lebih dari itu. Tapi kadang dia juga yang menyadarkan gue bahwa uang menjadi alasan dari hubungan ini.

Apa di mata Mas Khai gue hanya sekedar tubuh bernilai miliaran yang bisa diperintah ini itu. Yang bisa dia bawa ke sana kemari.

Mas Khai gak pernah meminta pendapat gue, dia selalu memerintah. Sikapnya bossy banget dan dominan.



- × × × -



"Buat lo."

"Dari siapa Mba?" Tanya gue ketika Mba Luna memberikan gue sebuket bunga impor besar dari florist ternama dengan perpaduan berbagai warna putih, peach, dan coral, cantik.

Mba Luna mengangkat bahu, "Cowok lo kayaknya. Ada kartunya"

Désolé - K.H

Bener bunga itu dari Mas Khai. Kebiasaan kalau kita habis bertengkar Mas Khai beliin gue sesuatu.

"Mas Khai tadi ngontak lo, Mba?" Tanya gue sembari mencium wangi bunga pemberian Mas Khai.

"Iya, sekretarisnya. Nanyain lokasi sama kapan selesai syuting." Mba Luna mulai merapikan barang gue di studio. "Satu take lagi kita selesai."

"Okey."

Syuting music video kali ini selesai kisaran jam 9 malam dan cuma satu hari aja untungnya jadi besok gue free. Tapi akibatnya gue capek banget. Syuting lebih dari lima belas jam. Rasanya pengen cepet-cepet pulang ke temu ranjang.

SUDDEN BOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang