C H A P T E R X

867 130 33
                                    

Hal yang paling gue hindari adalah saat gue ngomong serius sama Geeta. Geeta mode serius itu bikin gue mending menyingkir aja deh. Apalagi kalau posisinya gue jadi pihak yang tersudut gini.

Mata gue mengerjab was-was, sedangkan telapak kanan gue udah meremas gaun gue di bawah meja. Semilir angin malam  di roof top lantai tiga puluh enam membuat bahu gue bergidik kedinginan. Dan tanpa diminta Mas Khai melepaskan jasnya terus makein ke bahu gue yang terbuka.

“Udah aku bilang baju kamu terlalu terbuka.” Suara Mas Khai terdengar jengkel.

Sial. Bisa gak sih Mas Khai diem sebentar aja. Bukan malah menambah kecurigaan Geeta.

Dia kayak gak belajar dari kita yang ketahuan Jehan beberapa minggu lalu. Mana sekarang terang-terangan posesif ke gue.

Bukannya dia sendiri yang bilang kalau hubungan kita ini rahasia. Tapi kenapa dia akhir-akhir ini malah kayak mengumbar semua.

Dari dia nawarin mau nganter gue pulang aja itu udah salah banget menurut gue.

Ngapain sih ngaterin temen adeknya?

Anterin tuh tunangan lo.

Tentu aja Mas Khai yang minjemin gue jasnya gak luput  dari pandangan Geeta. Yang sekarang dahinya mengerut dengan mata menyipit semakin curiga.

Gue mau lepas dan pura-pura gak mau juga percuma sekarang.

Geeta yang duduk di depan gue meneguk koktail tanpa alkoholnya sebelum membuka mulutnya.

“Lo atau Mas Khai gak mau jelasin apa-apa ke gue?” Kata Geeta membuka keheningan dengan nada sarkastik diantara kita berempat, gue, Geeta, Mas Khai, dan Bang Caleb. Yang sekarang lagi duduk di roof top Bar Park Hyatt, hotel yang sama tempat acara tadi berlangsung di ballroom bawah.

Menjilat bibir gue yang kering sekali lagi gue masih gak tahu harus jawab apa. Sama Jehan gue bisa ngeles tapi ini Geeta. Dia kenal gue dan Mas Khai lebih dari orang lain. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan diantara hubungan gue dan Mas Khai tentu aja dia orang pertama yang akan tahu.

Mata sipitnya aja dari tadi gak berhenti memicing ngeliat gue dan kakaknya bergantian. Tatap penuh curiga itu tentu aja sangat beralasan.

“Gue gak tahu sejak kapan lo jadi sedeket ini sama Kalla. Nganterin Kalla pulang yang bener aja, Mas. Kak Nina aja lo biarin pulang sendiri.” Lanjut Geeta tersenyum meremehkan ke Mas Khai.

“Emang ada yang salah gue nganterin Kalla pulang?” Tanya Mas Khai balik.

“Salah banget lah. Gue udah curiga lo sama Kalla ada sesuatu.” Geeta masih mecerca Mas Khai.

“Geet gak gitu, gue sama Mas Khai tuh cuma- hmm cuma temen curhat.” Sahut gue mencoba menjelaskan dengan alasan yang gue anggep paling logis.

“Hah,” Caleb yang duduk di sebelah Geeta menahan tawa. Ngeliat gue sama Mas Khai seperti sebuah lelucon. Yang tentu aja dia dapet tatapan sengit dari Mas Khai. “Sori, bro.”

“Kall, seriously?” Tanya Geeta dengan wajah konyol.

“Well, kayaknya gak ada yang perlu ditutupin lagi.” Suara Mas Khai yang duduk di sebelah gue terdengar santai banget menanggapi Geeta.

Gue gak bisa buat gak menoleh ke Mas Khai dengan mata yang memicing gak kalah tajam dari Geeta yang juga melotot kaget denger ucapan Mas Khai.

“Maksud lo, Mas?” Tuntut Geeta dengan nada meninggi. “Lo beneran ada something sama Kalla?”

“Kayak yang lo liat sendiri,” jawab Mas Khai, ketika gue bilang Mas Khai itu tipe cowok alpha, dia. Mana ada Mas Khai pernah terintimidasi apalagi mengalah. Ini aja ketahuan sama adeknya, kayak gak ada salah. Padahal yang gue dan dia lakuin itu sangat salah.

Mas Khai gak ada takut-takut atau terpengaruh meski Geeta udah bener-bener mau keluar tanduknya.

Damn it, Mas.

“Kall, lo bisa jelasin?” Merasa sia-sia tanya ke kakaknya, Geeta beralih ke gue.

“Gak ada yang perlu dijelasin. Gue sama kakak lo gak ada apa-apa.” Gue tetep membantah meski Mas Khai enggak.

“Gak perlu ditutupi lagi dari Geeta,” Mas Khai disamping gue berkata sebaliknya.

“Mas!”

“Wah, gila sih bisa-bisanya kalian jalin hubungan di belakang gue dan gue gak tahu. Wah.” Mulut Geeta terbuka, menatap gue dan kakaknya gak percaya.

“Gak, gitu Geet.” Ini gue udah mau nangis aja rasanya. Mana Mas Khai gak membantu tapi malah memperparah. Kayak menyiram minyak tanah di atas bara api tahu gak, membuat semuanya semakin jelas.

“Udahlah, Ta mereka juga udah gede. Mereka bisa ngurus urusan mereka sendiri.” Caleb menengahi.

“Gak bisa gitu. Ini temen gue sama abang gue masalahnya.” Sewot Geeta sama Bang Caleb.

“Geet.” Panggil gue putus asa. Tangan gue dingin dan gemetar parah. Geeta marah banget kayaknya.

“Hei, it’s okey.” Mas Kai mengenggam tangan gue yang langsung gue tarik.

“Mas, lo bener-bener ya.” Geeta ngeliat kakaknya sinis. “Lo tuh udah mau kawin bisa-bisanya lo selingkuh sama temen gue.”

“Geet, lo gak berhak menghakimi gue. Lo gak tahu hubungan gue sama Nina.” Cela Mas Khai.

“Meski lo gak suka Kak Nina tapi hubungan lo sama dia gak sesimpel itu.” Mas Khai diem karena mungkin yang dibilang Geeta bener meski gue gak tahu apa maksudnya.

Untuk pertama kali gue liat dia kehilangan kata-kata.

“Dan lo gak seharusnya ngelibatin Kalla di sini,” Gue mendongak melihat Geeta yang menatap gue sendu tapi juga marah.

“Taa, cukup.” Bang Caleb mempringatkan.

Geeta menghembuskan nafasnya berat lalu berdiri, “Gue balik.”

“Bro, gue duluan.” Bang Caleb menepuk punggung Mas Khai.

Gue tahu saat ini akan tiba. Saat hubungan terlarang gue sama Mas Khai akan ketahuan sama orang-orang terdekat kita. Gue tahu saat ini berakhir itu gak akan jadi baik-baik aja.

Tapi ketahuan Geeta. Gue gak pernah mau menduga-duga responnya akan seperti apa. Ternyata dia semarah ini. Gue takut hubungan kita akan beda setelah ini.

Cuma gue selalu berharap hubungan gue sama Mas Khai berakhir sebelum ketahuan sama siapa pun. Ternyata harapan gue terlalu tinggi. Serapat-rapatnya menyimpan melati pasti akan tercium wanginya.

Lima bulan ternyata berlalu terlalu cepet.

Mungkin ini saatnya hubungan terlarang gue sama Mas Khai akan berakhir. Gue tersenyum kecut pada diri gue sendiri.

“Kall?” Panggilan Mas Khai dari sisi kanan dibalik stir kemudi membuat gue menoleh ke arahnya.

“Hmm?”

“Jangan over thingking,” beritahu Mas Khai menatap mata gue sejenak lalu berkonsentrasi lagi di jalanan Jakarta yang lumayan sepi.

Gue tersenyum dan menggeleng kecil, “Thank you, Mas.”

“For what?” Tanya Mas Khai gak mengerti.

“Everything.”

Ketika ini berakhir, gue mau ini berakhir dengan baik. Gak ada dendam atau hal yang membuat sakit hati antara gue dan Mas Khai.

- × × × -


SUDDEN BOUNDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang