🍀 Khawatir 🍀

1.6K 188 77
                                    

Lega yang lebih lega dari buang kentut adalah saat motor pinjaman yang sudah reyot ini mulai masuk ke dalam gerbang puskesmas. Separuh rasa cemasnya sedikit berkurang, begitu ia telah berhasil membawa Nathan kemari.

Motor itu berhenti di depan pintu puskesmas, Arumi segera meminta Nathan turun meskipun bukan kakinya yang terluka, pria itu nampak tertatih-tatih menahan sakit di tangannya. Tangan yang luka itu berbungkuskan lilitan kain baju hitam Arumi yang darahnya mulai tembus. Rasa kuatir Arumi beralih menjadi rasa takut, ia segera membantu Nathan berjalan sambil memanggil bantuan.

"Pak! Tolong, Pak!" Di pintu masuk ada satpam, Arumi berseru meminta bantuan. Badannya terlalu kecil meski tenaganya lebih kuat untuk membopong tubuh Nathan yang berkali-kali lipat lebih besar darinya.

Beruntungnya Pak Satpam segera ambil tindakan dengan membawa tubuh Nathan masuk ke dalam.

Begitu masuk, sosok Laras dan Gibran muncul dari balik ruang periksa. Begitu mendapati atensi Arumi dan juga Nathan, keduanya segera menghampiri mereka.

"Mi? Nathan kenapa?"

"Mbak Rumi, Mas Nathan kenapa?"

"Tangan Nathan luka, tolong obatin. Darahnya banyak banget, gue gak tau harus gimana lagi."

Laras juga Gibran nampak terkejut melihat darah mulai mengalir dari balik kain itu, segera ia meminta Pak Satpam untuk membawa Nathan ke ruang periksa. Laras melangkah lebih dulu untuk menunjukan ruangannya, di belakang Pak Satpam tengah membopong Nathan, dan Arumi juga Gibran di paling belakang.

"Gib, takut banget gue. Kalau Nathan kenapa-napa gimana?" Tanya Arumi panik, rasa khawatirnya itu mulai jadi rasa takut. Takut kalau Nathan kenapa-napa dan dia gagal nolongin cowok itu.

Dari sorot mata gadis itu, Gibran dapat melihat rasa kuatir sekaligus takut yang menyergap gadis ini. Gibran tahu Arumi sama Nathan itu teman sekelas dan pastinya mereka udah dekat banget, dan Arumi peduli sama Nathan lebih dari apapun. Ibaratnya, Arumi lebih kuatir sama kondisi Nathan dari pada dirinya sendiri.

Coba kalau Arumi sadar gimana keadaanya sendiri sekarang. Baju compang-camping, cardigannya kotor, wajahnya muram, tangannya hitam karena oli dan merah karena terkena percikan darah Nathan yang udah kering ketika gadis itu membungkus luka Nathan dengan bajunya sendiri, dapat Gibran tebak semuanya.

Arumi sesayang itu kah sama Nathan?

Jadi gak tega liat Arumi yang biasanya keliatan paling kuat itu jadi rapuh begini karena teman atau mungkin sahabatnya lagi sakit. Lengan Gibran terulur untuk menepuk-nepuk pungung Arumi pelan menyalurkan ketenangan yang masih dia punya.

"Nathan bakal baik-baik aja, Mi."

Mereka masuk ke dalam ruangan, Laras sudah ambil tindakan. Membuka gulungan baju di tangannya Nathan, membersihkan darahnya dengan alat-alat medis, memberi betadine dan sebagainya. Arumi cuma bisa liatin sambil berdoa semoga Nathan gak apa-apa.

Sekarang, Nathan lagi pejamin matanya karena dikasih obat bius sama Laras tadi. Lukanya ternyata cukup parah sampai darahnya gak mau berhenti dan bikin Nathan kehilangan banyak darah dan bikin tubuhnya jadi lemes.

"Ayas, lo perlu bantuan gak?" Tanya Gibran yang masih di posisinya tadi, tangannya yang menepuk-nepuk punggung Arumi kini mulai mengelus lembut surai legam gadis itu.

"Gak usah, Mas. Tenangin aja dulu Mbak Rumi nya, dia pasti kaget liat darah segini banyaknya." Balas Laras tenang sambil berkutat dengan alat-alat medis di tangannya.

Arumi gak nangis, tapi Gibra tahu Arumi lagi lemes banget gak ada energi.

Mungkin kalau di posisi itu bukan Nathan, Arumi gak bakal sepanik ini deh, pikir Gibran. Karena keduanya punya ikatan pertemanan yang dekat makanya rasa kuatir itu menjelma menjadi rasa takut.

KKN BenefitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang