Damn

1 1 0
                                    

Larissa tersenyum masam mengingat perkataan pria tadi. Saat ini, dia sedang berada didalam kelas. Tentu saja dia masih kepikiran tentang kejadian didalam bus tadi, menghela nafas, sekaligus merasa sial hari ini. Bagaimana mungkin ia harus mengganti handphone seharga 45 juta rupiah itu? dan parahnya lagi, ia meminta hari ini. Tentu saja Larissa panik bukan main. Apalagi, dia dan pria itu satu sekolah.

Larissa menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan. Berpikir keras dimana ia akan mencari uang sebegitu banyaknya. Memang benar, ia ada sedikit tabungan. Tapi, itu tidak cukup.

Viola yang sedang duduk disamping Larissa sambil bersandar pada dinding merasa bingung dengan tingkah sahabatnya itu. Tangannya terangkat mengelus rambut Larissa perlahan dengan lembut. "Lo kenapa? ada masalah?" Ucapnya sambil menatap Larissa dengan mata sayu nya.

Membuat Larissa mengangkat kepalanya sambil menoleh menatap Viola. Tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. "Engga ada, kok." Viola menyipitkan matanya seakan-akan tidak percaya dengan perkataan Larissa. Larissa tersenyum canggung sembari menggaruk kepalanya.

"Maaf." Viola yang mendengarnya hanya menghela nafas. "Bilang ke gue, ada apa? gue pasti bisa bantu." Ucapnya, suaranya terdengar halus, membuat Larissa merasa tenang dan didengarkan.

Mendengar perkataannya, Larissa langsung mengubah mimik wajahnya yang awalnya tenang menjadi sedih. Bibirnya mengerucut, Mata Cokelatnya terlihat berkaca-kaca. "Olaa... tolongin akuu"

"Tolongin apa?"

"Itu..."

"Apaa?"

Viola menghela nafas, mendekatkan kursinya ke arah Larissa. Menatap wajahnya lekat, siap mendengarkan. Larissa menghela nafas kemudian berbicara menceritakan semua kejadiannya, dari yang tidak sengaja menabrak, memecahkan handphone seseorang, serta pembicaraannya dengan pria itu didalam bus.

Sedangkan Viola hanya menganggukkan kepalanya mendengarkan penjelasan Larissa, matanya tidak bergerak sedikitpun, hanya menatap lekat Larissa dengan mata sayunya. Sesekali ia menghela nafas. Setelah beberapa menit kemudian, Larissa selesai menceritakan semuanya. Dengan frustasinya, ia menjambak rambutnya sendiri, sambil menatap Viola.

"Aku harus gimana? aku bingung."

Refleks Viola menarik tangan Larissa yang sedang menjambak rambutnya, menggelengkan kepalanya pelan. tersenyum tipis. Tapi, Larissa yang melihat hal tersebut, semakin cemberut. "Kok kamu senyum-senyum?"

"Aku, kan, lagi kebingungan." Lanjutnya berbicara.

"Gue ga senyum."

"Bohong."

Viola menghela nafas sembari mengeluarkan Handphonenya, berbicara dengan santainya "Mana nomor rekeningnya? gue kirim uangnya"

Mendengar perkataannya seketika Larissa melotot lucu kearahnya, menggelengkan kepalanya panik. Beginilah berteman dengan orang kaya, tidak segan-segan mengeluarkan uang. Larissa berdecak pelan. Mengeluarkan uang seperti mengeluarkan upil dari hidung. eh?

"Aku ga minta kamu bayarin itu. Aku cuman cerita, biar kamu kasih aku cara keluar dari masalahnya, Ola."

"Gausah. Gue aja, mana rekeningnya?"

"Ga ada."

"Mana?"

"Gada ih!"

Larissa memelototinya berusaha untuk membuat Viola takut. Namun, sepertinya bukan seperti yang diinginkan olehnya. Viola hanya menatap Larissa santai, bibirnya terbentuk seringai khasnya.

"Atau gue datangin aja orangnya? siapa namanya?"

Mendengar perkataannya, seketika Larissa terdiam sejenak. Menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian mendekatkan diri, berbisik lirih tepat ditelinga Viola.

"Katanya, namanya Gaffar. kamu kenal, ga? dia anak IPS."

Viola yang mendengarnya seketika membelalakkan matanya terkejut, matanya menatap lekat Larissa. Tangannya terlihat bergetar. "Apa lo bilang? Gaffar?"

Larissa menganggukkan kepalanya, merasa bingung melihat tingkah temannya itu. Terlihat seperti sedang panik. Sedangkan Viola sendiri meneguk ludahnya susah payah.

"Gaffar Novanno Semantha."

"Ga salah lagi. cowo gila itu. Cuman dia anak IPS yang namanya sama seperti yang lo sebut. Lo salah banget berurusan sama dia, Sa." Ucap Viola.

Entah kenapa setelah Viola mengatakan hal tersebut, atmosfer di kelas terasa berat, bahkan seperti tidak ada angin. Larissa menggelengkan kepalanya pelan. "Aku gatau apapun. Ola, tolongin aku."

"Gue bisa bantu lo. But, gue ga berani berhadapan sama dia. Cukup dari jauh."

"Dia cuman cowo biasa, Ola. Kenapa kamu takut sampe gugup gitu?"

"Dia lebih dari itu,Sa."

"Iya apa kelebihannya? aku bingung."

"Dia gila. Lebih gila dari yang Lo tau. Lebih tepatnya, pemikirannya diluar nalar, Sa. Kalau berurusan sama dia, sampai lo mati bakal keinget sama wajah bengis dia."

"Hah? maksudnya? aku gapaham."

Viola menggelengkan kepalanya, menghela nafas kemudian, memencet tombol rekening "Lebih baik, lo bilang ke gue, sekarang. Mana nomor rekeningnya dan gausah banyak omong dulu. "

Larissa menganggukkan kepalanya panik. sembari mengeluarkan sebuah kertas kecil, yang terdapat nomor rekening Gaffar. Dia sendiri yang menulisnya. Viola menganggukkan kepalanya sembari memasukkan nomor rekening itu, menghela nafas lega ketika sudah melihat uang tersebut terkirim kedalam rekening Gaffar.

"Lo kenapa bisa ketemu sama cowo gila itu, Sa?" Larissa menggelengkan kepalanya, tidak tahu."Aku aja ga tau, Ola. tiba-tiba aja ga sengaja ketabrak dia. Dianya ada di jalanan komplek rumah aku. Gatau ngapain hujan-hujanan disana sendirian."

"Setelah ini, jangan pernah ketemu sama dia lagi. tadi, gue udah ketik catatan atas nama dan tujuan lo, pas ngirimin uang ganti ruginya. Jadi, dia tahu itu dari lo."

"Makasih banyak, Ola. Uangnya pasti aku ganti, ya?" Viola menggelengkan kepalanya tersenyum tipis, sembari mengelus rambut Larissa."Gue ga minta lo gantiin uangnya, gue ikhlas."

Larissa tersenyum manis, semanis gula. Viola memalingkan wajahnya ke arah lain. tidak sanggup melihat senyuman manis itu. Sungguh, dunia seakan-akan terbalik ketika melihat senyuman manis seorang Larissa Riquel Cantika saat bahagia.

Larissa merasa bahagia sekaligus tenang. karena, ia merasa terbantu, lagi. Oleh Viola, temannya, bersyukur sekali, dia tidak kepikiran tentang uang ganti rugi itu. Ia bisa tenang sekolah lagi.

Semoga, ya?

Karena kita tidak tahu, apakah seorang gadis mungil itu bisa keluar dari masalahnya, dengan pria itu. Dengan mudahnya. Seperti mengedipkan mata.

Karena seorang Gaffar Novanno Semantha, adalah pria yang mempunyai motto "Berurusan satu kali, teringatnya sampai mati."

Mari kita doakan saja.

GARIS | GAFFAR & LARISSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang