Bingung. Satu hal yang Larissa pikirkan sekarang. Ditawarkan menjadi asisten Gaffar? ia terima atau tidak? Jujur, semisalnya Larissa menerima tawarannya, apakah ganti ruginya sudah lunas?
Disisi lain, Gaffar. Menatap lekat Larissa dengan pandangan santai, sedikit nakal. Merasa senang melihat kebingungan yang murni dari wajah targetnya. Tangannya terangkat menyugar rambutnya kebelakang. Terdiam sejenak sebelum dengan tiba-tiba berdecak. Sengaja. Hanya ingin membuat panik saja.
"Eh.." Larissa yang mendengarnya merasa panik. Ia kelamaan berpikir, kah? Larissa menghela nafas. Menatap Gaffar dengan mata polosnya.
"Apa lo? cepetan jawab!"
"Aku lagi bingung... tunggu dulu, dong."
Gaffar menyipitkan matanya, Larissa seketika semakin panik. Entah kenapa, setiap melihat Gaffar menyipitkan matanya, ia merasakan alarm berbahaya berbunyi di kepalanya.
"Lama banget, gua ga suka nunggu."
"Oke! Cash!" Lanjut Gaffar, ia dengan sengaja berjalan pergi meninggalkan, bibirnya terus-menerus tersenyum. Ah... senangnya
Larissa semakin panik ketika melihat Gaffar hendak berjalan pergi, Ia dengan cepat berjalan mengikuti Gaffar. Menarik ujung jaketnya. "IYA IYA AKU MAU!"
Gaffar semakin tersenyum lebar. Berbalik badan kearah Larissa. Menundukkan kepalanya menatapnya. Alisnya terangkat, menganggukkan kepalanya "Deal!"
"Mana nomor telepon lo? minta!"
"Buat apa? itu privasi."
"Oh? kalau gitu bayar cash aja."
"Loh? kok gitu?"
"Ya itu udah konsekuensinya. Gua minta nomor lo itu... buat ngehubungin lo, kalau gua minta sesuatu."
Larissa mengerutkan keningnya, menatap Gaffar dengan alis yang menukik, merasa aneh, baru kali ini ia bertemu dengan orang menyebalkan sekali. Menghela nafas, Sabar. Kemudian mengulurkan tangannya.
"Mana handphonemu?"
Gaffar tersenyum lebar, merasa menang kali ini. Ia merogoh kantung jaketnya, mengeluarkan handphone yang mahal harganya. "Nih, cepet!"
"Sabar kenapa, sih?" Larissa merasa kesal sekarang, bertambah kesalnya lagi ketika saat ia ingin mengambil handphonenya, Gaffar malah menarik tangannya menjauh. Larissa terdiam sejenak.
"Berani marah lo sama gua? yang berdiri dihadapan lo sekarang itu bos lo!"
"Kalau gitu, batalin aja perjanjiannya ah.."
Larissa mencengkram erat roknya, merasa emosi yang kian membludak hari ini. Menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk tenang, kemudian ia tersenyum lembut sembari menatap Gaffar. Menganggukkan kepalanya mengerti
"Baik. Maafkan saya..." Larissa mengulurkan tangannya, masih tersenyum lembut, cantik. Gaffar? terdiam sejenak sebelum mengulurkan handphonenya.
"Gitu dong."
Larissa mengetikkan nomornya dengan cekatan, menundukkan kepalanya. Tapi, ada yang membuat perhatian Gaffar teralihkan. Ya itu, kenapa tangan Larissa kecil sekali? bahkan, handphonenya kebesaran ditangan Larissa. Gaffar refleks menutup mulutnya, ingin tertawa. Merasa lucu. Lihat, mengetikkan nomor saja sambil mengerutkan keningnya.
"Kenapa kamu senyum-senyum?"
Gaffar terdiam, berdehem singkat kemudian menggelengkan kepalanya, memasang raut wajah datar dan dingin, merasa malu ketahuan tersenyum. Sedangkan Larissa mendongakkan kepalanya menatap Gaffar, matanya terlihat lugu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS | GAFFAR & LARISSA
Ficção AdolescenteKatanya, Garis kehidupan sudah ditentukan oleh Tuhan. Tapi, sebagian besar, semua orang memilih melenceng dari tujuan hidup. Karena, tidak sesuai dengan kemauan mereka. Tapi, ada seseorang yang memilih untuk tetap mengikuti alur yang sudah ditetapka...