"Pelan-pelan makan nya, ga ada yang mau ngambil makanan lo." Gaffar menyeka saus di sudut bibir si gadis. Ia tersenyum tipis melihat semburat malu-malu di pipi tembem Larissa. Mengusap lembut rambutnya dengan sayang, kemudian, kembali fokus pada makanannya.
"Kak, tau, ga?" Gaffar menggelengkan kepalanya tak tahu, ia menatap wajah gadisnya, "Ga tau."
"Aku belum bilang ya? Yang kemarin itu loh!" Gaffar menghela nafas, bersedekap dada sambil mengunyah makanannya, alisnya terangkat, "Jelas gua ga tau. Lo aja belum bilang"
"Eh, iya, kah?" Larissa tertawa kecil, ia memajukan tubuhnya, tersenyum manis pada Gaffar, "Besok pagi, jalan, yuk?"
"Kemana?"
Larissa semakin merasa senang, ia berujar dengan semangatnya. "Ke taman yang baru buka itu, Kak! Yang diresmikan kemarin sore." Gaffar mengernyit, taman baru buka? Diresmikan? Kapan?
"Yang dimana nya?" Larissa cemberut, menghela nafas, tangannya meraih handphone miliknya. Mencari info tentang yang ia maksud tadi, agar Gaffar tidak kebingungan.
Berdiam diri setelahnya, mendadak sunyi.
Namun, sepertinya ada yang salah paham disini. Gaffar, terdiam menatap perubahan wajah Larissa. Ia salah, kah? Tangannya terangkat meraih handphone si gadis, diletakkannya di pahanya.
"Kenapa diambil? Siniin dulu."
Gaffar menggeleng, "Kita pergi besok, ke taman yang lo maksud. Gua bercanda."
"Hah?" Larissa bingung, "Maksudnya?"
"Lo marah, ya? Maaf," Semakin bingung Larissa dibuatnya, perihal apa makhluk kaku ini meminta maaf?
"Untuk?"
"Ga tau tentang taman yang lo mau tadi, nanti, gua cari, deh." Gaffar, tersenyum tipis, tangannya mengusap lembut wajah si gadis, "Sorry ya, bikin lo kesel?"
"Astaga, kamu salah paham." Larissa tertawa, ia ngerti sekarang. Gaffar salah menangkap ekspresi wajahnya tadi. Sepertinya, dia mengira, Larissa marah padanya. Sebetulnya, tidak juga.
"Aku ga marah." Gaffar memiringkan kepalanya, "Iyakah? Terus, kenapa wajah lo murung tadi?"
"Mana ada murung. Aku tuh, lagi nyari referensi taman tadi. Biar aku bisa nunjukin ke kamu, biar kamu nya ga bingung."
Gaffar hanya be oh ria. Ia tertawa pelan, mendorong bahu sang gadis nakal. Memalingkan wajahnya ke arah lain, malu salah sangka rupanya.
"Apaan dorong-dorong? Malu, ya?" Larissa menoel dagu Gaffar, ia tersenyum lebar. Merasa senang menganggu kekasihnya itu.
"Ish, pinggirin tangan lo. Ga suka!" Gaffar menepis-nepis tangan Larissa. Telinganya terlihat memerah.
"HAHAHAHA." Larissa dengan gemasnya, segera memeluk tubuh Gaffar, menyandarkan kepalanya di bahunya. Tersenyum manis, sembari berujar, "Ternyata, kamu perhatian sama aku yaa? Takut aku marah gitu?"
"Iya. Lo kalau marah, susah dibujuknya tau. Gua ga mau repot." Bibir Larissa seketika cemberut, ia mengubah mimik wajahnya menjadi sendu.
"Aku kalau marah, ngerepotin kamu ya berarti? Kenapa kamu ga bilang aja aku bikin repot kamu?"
Damn.
"Ga gitu, lo salah sangka." Gaffar menatap wajah gadisnya, tersenyum tipis. Dikecupnya kening putih itu, "Lo itu, kan, cewek. Moodnya ga beraturan, capernya kelewat batas kalau udah marah tuh. Pengen dibujuk aja terus."
"Tapi, bukan berarti lo ngerepotin gua. Gua suka kok, di repotin." Gaffar menatap lekat bulatan bening dan indah yang sedang menatapnya balik.
"Asalkan itu lo." Suara itu mengalun indah di telinga Larissa. Ia seketika merasa bahagia. Seperti, ada ribuan bahkan jutaan kupu-kupu indah berkeliling ria di dalam perutnya.
"Sayang kamu!" Larissa dengan semangat mengecup pipi Gaffar. Yang dibalas tawa oleh pemilik tubuh.
"Me too, Babe."

KAMU SEDANG MEMBACA
GARIS | GAFFAR & LARISSA
أدب المراهقينKatanya, Garis kehidupan sudah ditentukan oleh Tuhan. Tapi, sebagian besar, semua orang memilih melenceng dari tujuan hidup. Karena, tidak sesuai dengan kemauan mereka. Tapi, ada seseorang yang memilih untuk tetap mengikuti alur yang sudah ditetapka...