“Kamu selama ini 'kan gak keberatan, Li. Kenapa sekarang baru protes?”
“Keadaan. Keadaan yang buat aku diam secara paksa.”
“Ikhlas secara paksa itu gak enak, Pi.”
_•°•_
Ikhlas adalah hal yang sulit. Halilintar mengakui itu.
Sebab Halilintar sampai saat ini masih belum ikhlas kenapa dirinya menjadi anak tengah.
Dan tumbuh di keluarga yang berpencar.
Hei... Ini bukan tim sar tahu?
Halilintar selalu saja merasa dirinya tidak memiliki Ayah. Selalu iri dengan teman-temannya ketika SD memiliki sosok Ayah.
Membanggakan di depan semua orang. Halilintar sebenarnya bisa aja melakukan itu.
Tapi... apakah Halilintar berhak? Apakah Halilintar memiliki hak itu?
Walau Halilintar mendapatkan status 'anak kesayangan' dan 'anak penurut' di keluarganya. Itu tidak memungkinkan Halilintar bersuara bahwa Ayah dan Ibunya sangatlah hebat.
Tentu tidak.
Ini bukanlah permainan anak-anak, yang mengaku-ngaku bahwa "ayahku polisi." Bukan.
Ini mengenai perasaan.
Halilintar ketika ditanya, "kamu anak ke berapa?" langsung terdiam.
Hatinya ikut sakit ketika ditanya hal itu. Rasanya... Halilintar tidak memiliki identitas.
Halilintar selalu memahami segala keadaan di keluarganya. Tidak memaksa ayahnya untuk kembali pulang ke rumah. Tidak memaksa membeli ini itu lagi pada ayahnya.
Karena Halilintar tahu.
Halilintar tahu keadaan.
Tapi...
"Ali ngalah dulu ya? Gak apa-apa 'kan?" ujar Papi.
Halilintar membisu, tubuhnya lantas membeku saat itu juga.
Permintaan yang ia tunda-tunda selama 2 tahun itu ditolak mentah-mentah.
"Tapi... laptop Ali—"
"Pakai punya Teteh aja dulu, punya Teteh masih bagus loh. Kalau adikmu udah lulus SD, baru Papi kasih laptop baru." Papi mengusap-usap kepala belakang Halilintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembuh Bersama || LIBUR ||
Short StoryHalilintar memiliki dua teman yang kisahnya sama-sama sakit seperti kisahnya sendiri. Lalu mereka berjanji untuk sembuh bersama, walau akhirnya salah satu dari mereka pergi. • Area Angst • Direkomendasikan untuk membaca saat malam hari • BUKAN BL...