***
"Mau ke mana?"
"Ke teman."
Halilintar memakai kupluk hoodienya, ia menarik keluar sepeda berkeranjang itu dari perkarangan rumahnya. Kaki jenjangnya mengayuh, perlahan menjauhi rumah bertingkat dua itu.
Deru napasnya berusaha untuk teratur ketika kakinya mengayuh dengan cepat. Hembusan napas itu terlihat dingin akibat cuaca yang curam di Kuningan ini.
Halilintar menelusuri jalan dengan pinggir kanan kirinya merupakan pepohonan yang lebat - itu tidak mengurangi atensinya untuk takut - ia sudah terlalu biasa.
Ia memberhentikan sepedanya di sebuah tempat terkenal seramnya. Rumah terakhir bagi seluruh manusia.
TPU (Tempat Pemakaman Umum).
Halilintar menenteng box yang terlihat sangat overcolor. Ia berjalan semakin dalam ke TPU. Hingga ia berhenti di sebuah nisan bernamakan Antaufan Harja Kertarajasa.
"Aku datang, setelah lima tahun."
Halilintar duduk di sebelah makam itu, ia membersihkannya dari dedaunan kering juga rerumputan yang sudah panjang. Dan oh, ada sebuah bunga yang mulai tumbuh di sana. Halilintar membiarkan hal itu, sebab Taufan yang memintanya dulu.
"Makam aku kalau ada bunga tumbuh jangan dicabut ya, biarin saja, kecuali rumput."
Setelah membersihkan, Halilintar mengaji surat yasin di sana, serta mengirimkan doa.
Tangan itu mengeluarkan sebuah kue kecil dengan lilin-lilin berbentuk bintang yang Halilintar nyalakan.
"Happy birthday, idiot."
Iris merahnya mulai tertutup, ia meniup lilin itu dengan sekali hembusan.
Merayakan ulang tahun temannya yang sudah pastinya tak akan bertambah umur.
Aneh, tapi Halilintar tidak peduli.
"Nyanyiin aku lagu, nanti habis ini aku traktir mi ayam."
Jari jemarinya meremat ujung tempat kue.
"Tara!~ aku habis buat pancong sesuai janji."
"Tapi kamu dipukul, Fan."
"Loh? Ya gak apa-apa! Ayo-ayo makan ini, masih hangat."
Perlahan netra merah itu mulai bisa melihat sekitaran, sebuah genangan air mulai timbul disudut matanya.
Tangannya mulai gemetaran, dan buru-buru menaruh kue itu kembali dalam box. Ia memeluk kedua kakinya, menenggelamkan wajahnya dan hanya menyisakan kedua matanya tuk melihat pada nisan.
"Hei, gelap selalu menyatu dengan terang bukan?"
Ia pulang, pulang kembali pada rumahnya. Rumah yang tak akan kemana-mana.
"Kita menangis di perjalanan pulang."
Nadin Amizah
Halilintar beranjak dari tempatnya, ia menghela napas dan setelahnya ia melangkah pergi menjauh meninggalkan makam sahabatnya.
Hingga ia terhenti di pintu pemakaman, netra merahnya itu mengecil ketika melihat seseorang yang ia kenal.
Seseorang yang ia sesali untuk dibenci, orang yang sebenarnya tak ada sangkut pautnya tetapi malah ia benci.
"Gempa?"
Iris emas itu melebar melihat siapa di hadapannya sekarang.
"Hali?"
Laki-laki itu perlahan berjalan mundur, menghindari Halilintar yang semakin mendekat.
"Gem-"
"Jauhi aku, Hali!"
Halilintar terpaku dibuatnya. Dirinya membeku dan hanya bisa melihat kepergian Gempa yang semakin menjauh menyatu dikeramaian jalan raya.
"Apakah masih kau simpan perih?"
"Aku mengerti, aku mengerti."
Nadin Amizah
Sembuh Bersama
- HaliTauGem -
By: HasaGenre: angst
¡! OOC !¡
Friendship
¡! NOT SHIP !¡
¡! STOK TISSUE !¡
Terinspirasi dari beberapa AU di X
(Slow update)A/N:
Ges... Jam segini emang rawan angst...
Tolong... Sesek napas... Gegara kangen berat sama trio ori...
Jadi ku buat saja cerita mereka, dan ya emang angst tapi ini menurutku sih
Enjoy guys!🥰🥰💞💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembuh Bersama || LIBUR ||
Cerita PendekHalilintar memiliki dua teman yang kisahnya sama-sama sakit seperti kisahnya sendiri. Lalu mereka berjanji untuk sembuh bersama, walau akhirnya salah satu dari mereka pergi. • Area Angst • Direkomendasikan untuk membaca saat malam hari • BUKAN BL...