Dilema

2 1 0
                                    

Sinar mentari pagi menembus celah tirai kamar Awan, membangunkannya dari mimpi indahnya. Ia meregangkan tubuhnya yang masih lelah, memikirkan hari yang harus ia lalui. Hari ini adalah hari Senin, hari pertama di sekolah setelah liburan panjang.

Awan melangkah menuju dapur, aroma roti bakar yang dibuat oleh Mamanya sudah memenuhi rumah. Wajah Mamanya yang selalu ceria menyambutnya dengan senyuman hangat.

"Pagi, Sayang. Sarapan dulu, nanti telat ke sekolah," kata Mamanya sambil menyajikan roti bakar dan segelas susu coklat hangat.

"Pagi, Ma. Aku masih ngantuk," jawab Awan sambil menguap lebar.

"Semalam belajar sampai larut ya? Jangan lupa istirahat yang cukup, Wan. Nanti sakit," pesan Mamanya dengan penuh kasih sayang.

Awan mengangguk pelan. Ia belajar semalaman untuk mempersiapkan ujian matematika yang akan diadakan minggu depan. Ayahnya ingin Awan belajar dengan tekun dan mendapatkan nilai tinggi agar bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus di masa depan. Awan pun ingin membanggakan Ayahnya, namun di sisi lain, ia memiliki mimpi yang berbeda. Ia ingin menjadi seorang musisi, mengikuti passionnya untuk bermain gitar dan bernyanyi.

Di Kantin Sekolah

Bel berbunyi, menandakan jam istirahat pertama. Awan dan Laras, berjalan menuju kantin sekolah. Kantin dipenuhi oleh para siswa yang sedang mengantri makanan dan bercanda gurau. Awan dan Laras memesan bakso favorit mereka dan duduk di pojok kantin yang agak sepi.

"Wan, kamu kenapa kelihatan murung hari ini?" tanya Laras dengan nada khawatir.

Awan menghela napas panjang. "Aku bingung, Laras. Aku ingin membanggakan Ayah, tapi di sisi lain, aku ingin mengikuti mimpiku sendiri."

Laras mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tahu betul dilema yang dihadapi Awan. Ayahnya adalah seorang buruh pabrik yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Awan selalu mendapat pujian dari Ayahnya karena prestasinya di sekolah, terutama di bidang matematika dan sains.

Namun, Awan tidak merasa bahagia dengan semua itu. Ia lebih senang menghabiskan waktunya bermain gitar dan bernyanyi, menuangkan isi hatinya melalui musik.

"Wan, kamu harus berani mengikuti kata hatimu. Kamu tidak bisa terus menerus hidup untuk orang lain. Kamu harus hidup untuk dirimu sendiri," kata Laras dengan tegas.

Awan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Laras. Ia tahu Laras benar, tapi rasa takut dan bimbang masih menyelimuti hatinya.

Di Ruang Kelas

Bel berbunyi kembali, menandakan waktunya kembali ke kelas. Awan dan Laras berjalan menuju ruang kelas mereka. Awan kembali melamun, memikirkan tentang masa depannya. Ia membayangkan dirinya menjadi seorang musisi terkenal, tampil di atas panggung dan menghibur banyak orang. Ia pun membayangkan kekecewaan Ayahnya jika ia memutuskan untuk tidak mengikuti jejaknya.

Guru matematika mulai mengajar, tapi Awan tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang ke mana-mana. Ia merasa tertekan dan bingung harus bagaimana.

Di Atap Sekolah

Saat jam istirahat kedua, Awan memutuskan untuk pergi ke atap sekolah sendirian. Ia ingin mencari ketenangan dan mencoba untuk menjernihkan pikirannya. Awan duduk di tepi atap, memandangi pemandangan kota yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya, membawa kedamaian dalam hatinya.

Tiba-tiba, Laras muncul di sampingnya. Ia membawa gitar kesayangan Awan.

"Wan, mainkan gitarmu. Mungkin musik bisa membantu menenangkan hatimu," kata Laras sambil menyodorkan gitarnya.

Awan mengambil gitarnya dan mulai memetik senarnya. Ia memetik melodi yang indah dan menyanyikan lagu favoritnya. Musiknya mengalir dengan lancar, seolah-olah semua beban dan kekhawatirannya tertuang dalam melodi itu.

Laras mendengarkan dengan penuh kekaguman. Ia melihat Awan begitu bahagia dan bebas saat bermain musik. Ia yakin bahwa musik adalah passion Awan yang sesungguhnya.

Di Taman Kota

Setelah jam sekolah selesai, Awan dan Laras berjalan menuju taman kota. Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati suasana sore yang tenang.

"Wan, aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu mendukungmu. Apapun keputusan yang kamu ambil, aku akan selalu ada di sisimu," kata Laras dengan penuh ketulusan.

Awan tersentuh mendengar kata-kata Laras. Ia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Laras yang selalu setia dan mendukungnya.

"Terima kasih, Laras. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu," kata Awan dengan mata berkaca-kaca.

Laras tersenyum hangat dan memeluk Awan. "Kita akan atasi ini bersama-sama, Wan. Aku yakin kamu bisa menemukan jalan keluarnya," ujarnya dengan penuh keyakinan.

Awan termenung sejenak, memikirkan semua yang telah terjadi. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayang Ayahnya. Ia harus berani mengikuti kata hatinya dan mengejar mimpinya sendiri.

"Aku sudah memutuskan, Laras. Aku ingin menjadi seorang musisi," kata Awan dengan tegas.

Laras tersenyum lebar dan memeluk Awan dengan erat. "Aku bangga padamu, Wan. Aku tahu kamu akan berhasil," ujarnya dengan penuh semangat.

[End] Mimpi Awan di Bawah Langit KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang