Mimpi - Cita-Cita

4 0 0
                                    

"Kalau nanti sudah besar? Maksudnya, cita-citaku?"

Aku tersenyum mendengar responsnya.

"Iya, betul, Tanaka-chan. Cita-citamu nanti mau jadi apa?"

"Hmm..."

Iya terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Sebetulnya aku sudah tahu jawabannya. Ia ingin menjadi seorang dokter. Sejak kecil, aku memang bercita-cita ingin menjadi dokter. Dengan alasan yang sangat klasik, yaitu ingin membantu banyak orang. Selain itu, aku pun ingin membuat kedua orangtuaku bangga. Memiliki anak yang merupakan seorang dokter dengan jenjang karirnya yang sudah terjamin telah menjadi impian kebanyakan orang tua di seluruh dunia.

Semenjak itu, aku pun berusaha sekuat tenaga untuk belajar dengan keras bahkan mulai semenjak Sekolah Dasar. Aku mengorbankan banyak waktu bermain dan sudah mulai masuk les semenjak kelas satu SD. Les yang diikuti pun bermacam-macam, namun berpusat pada matematika dan bahasa inggris. Seluruh perjuanganku di sekolah pun terbayarkan dengan pengumuman diterimanya diriku sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran di salah satu universitas ternama di kota, terlebih dengan beasiswa penuh.

Pada hari pengumuman, tentu saja aku dan orangtuaku semuanya bersyukur atas pencapaian ini. Seluruh keringat dari perjuanganku selama 12 tahun ke belakang akhirnya terbayarkan dengan pengumuman ini. Dengan hati yang gembira dan bersemangat, aku pun memulai hari pertamaku di Fakultas Kedokteran. Akan tetapi, apa yang aku bayangkan sebelumnya ternyata jauh berbeda.

Aku tidak menyangka ternyata semuanya sangat berat. Biaya, waktu, hal-hal yang harus dipelajari, beban kerja, hubungan dengan dosen, senior dan semuanya. Semua aspek yang ada di dalamnya ternyata sangat berat bagiku. Nilaiku turun drastis, menghancurkan seluruh rasa percaya diri yang sudah kubangun selama 12 tahun. Terlebih dengan berkumpulnya siswa-siswa yang sangat pintar dan berprestasi dari seluruh negeri serta dosen yang sangat keras dan kritis hanya membuatku semakin tidak percaya diri.

Hal ini membuatku depresi, hingga puncaknya berada di semester 6 dimana akhirnya aku membuat barcode pertama kali di pergelangan tanganku. Aku tidak kuat. Aku ingin pergi. Aku ingin kabur, dari seluruh hidup ini, selama-lamanya. Walaupun begitu, entah bagaimana caranya aku bisa bangkit kembali, utamanya berkat support yang sangat besar dari ayah dan ibu. Aku dapat menyelesaikan program studi sarjana kedokteran dalam waktu 4,5 tahun, lebih lama satu tahun dari teman-teman seangkatanku.

Setelah lulus sebagai sarjana kedokteran, aku berpikir bahwa aku hanya harus bertahan selama dua tahun untuk meraih gelar dokter. Akan tetapi, tentu saja semuanya tidak semudah itu. Aku jatuh lebih dalam saat menjalani kuliah profesi dokter. Semuanya terasa sangat berat, sangat sulit untuk dijalani, sampai-sampai aku mengalami panic attack setiap mendengar suara sirine ambulans atau mendekati area rumah sakit. Sekitar tiga bulan aku menjalani program profesi dokter dan memutuskan untuk keluar, yang kemudian dilanjutkan dengan mengambil program S2.

Program studi yang aku ambil kali ini adalah Ilmu Forensik, satu-satunya cabang keilmuan dari kedokteran yang aku minati. Aku berharap dapat memulai hidup yang baru saat menjalani S2 ini, namun kembali lagi dan terjadi lagi. Semuanya tidak semudah seperti apa yang diperkirakan. Depresi kembali menggerogotiku, terutama saat aku mengerjakan tesis, hingga akhirnya aku mundur kembali dan kini sudah masuk ke semester 6. Terlebih di saat aku sedang menjalani S2 ini, teman-temanku yang lain sudah meniti karirnya perlahan sebagai seorang dokter.

Mereka sudah memiliki pekerjaan tetap, di rumah sakit atau puskesmas, beberapa ada yang sudah menjadi asisten penelitian ataupun mengambil S2 atau bahkan menikah dan sudah punya anak. Di sini aku merasa tertinggal jauh, sangat jauh.

"Tanaka ingin menjadi dokter!"

Tiba-tiba aku mendengar diriku yang berusia enam tahun ini yang sedang duduk di sebelahku berkata ingin menjadi dokter. Terlihat dari wajahnya yang sangat berbinar dan senyumnya yang sangat lebar bahwa Ia ingin sekali menjadi dokter. Beberapa saat kemudian terasa air mata menetes, mengalir membasahi pipiku. Aku pun menangis, dadaku terasa sesak, merasa gagal dan hancur karena diriku tidak bisa memenuhi ekspektasi anak kecil ini.

Ia pasti merasa kecewa dengan diriku yang sekarang.

#30DWC

#30DWCJilid46

#Day13

Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang