Safe Place

186 33 7
                                    

"Jumat tuh sekolah sebentar tapi berasa lama banget waktunya," Ino menatap jam di tangannya, "masa masih jam sembilan? Perasaan dari tadi jam sembilan melulu."

Hinata mendesah pelan, mengangguk setuju, "Ya gitu lah, mentang-mentang besok libur."

"Eh, anter ke toilet yuk, Ta," ajak Ino.

"Mau apa?"

Ino menyengir, "Gak ngapa-ngapain sih, bosen aja, pengen keluar sebentaaaar," bisiknya pelan takut terdengar yang lain. "Kita udah beres juga ngerjain soal," lanjutnya.

"Ya udah, ayo." Hinata membereskan alat tulisnya ke dalam kotak pensil, "Lo izin dulu sana."

"Okay, wait." Ino pergi menuju meja guru untuk meminta izin pada Bu Kurenai yang sedang mengoreksi tugas murid-muridnya. Setelah mendapat izin, Ino kembali pada Hinata.

"Boleh?" tanya Hinata.

Ino mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar, "Boleh dong. Ayo!"

Hinata menyambut uluran tangan Ino. Keduanya berjalan bergandengan meninggalkan kelas. Ino sengaja berjalan lambat yang tentunya diikuti Hinata.

Saat hendak berbelok di ujung koridor, Hinata menghentikan langkahnya. Untuk menuju toilet, mereka harus melewati koridor jurusan teknik sepeda motor yang sebagian besar penghuninya adalah laki-laki. Sialnya, sepertinya salah satu kelas di jurusan itu sedang jam kosong. Terbukti dari adanya beberapa siswa yang berkumpul di koridor.

"Ino, sini deh jalan lapangan aja, males lewatnya ah," ujar Hinata. Ia enggan melewati segerombolan siswa itu karena biasanya suka ada yang jahil bersiul-siul atau menggoda siswi yang lewat. Meskipun tidak selalu begitu, tapi Hinata menghindari saja karena malas kalau sampai kejadian.

"Ah elah muter amat, panas lagi, Ta," tolak Ino. "Gak apa-apa, lempeng aja lempeng," ujar Ino yang mengerti akan kekhawatiran Hinata.

Hinata mendengus, hanya bisa mengikuti Ino yang menyeretnya. Kini keduanya berjalan dengan langkah cepat, agar tidak lama-lama melewati segerombolan siswa tersebut.

Benar saja, beberapa langkah mendekati sekumpulan siswa tersebut, ada yang mulai berseru-seru tak jelas. Berdeham-deham dengan suara yang sengaja dikeraskan atau bersiul-siul membuat Hinata muak dan ingin sekali menjambak mereka satu-satu tapi sayangnya Hinata tak berani.

Hinata memalingkan wajahnya menatap ke arah lain, melangkah cepat mengikuti Ino yang berjalan di depannya dengan wajah terangkat angkuh, mengisyaratkan bahwa ia tak peduli dan tidak takut dengan sekumpulan siswa yang bertingkah bodoh tersebut.

Namun siapa sangka, sedang fokus berjalan Hinata tiba-tiba terhempas kencang ketika ia merasakan ada tubuh lain dari sampingnya yang menabraknya.

Kejadiannya begitu cepat, tiba-tiba Hinata sudah terduduk di atas batu-batu kasar yang menjadi hiasan di setiap sisi koridor. Beruntung tubuhnya tidak menindih pot tanaman bunga mawar penuh duri yang berada tepat di sampingnya.

Meskipun begitu, tetap saja kedua lututnya kini terasa sakit karena bergesekan cukup kuat dengan batu-batu kasar itu. Belum lagi kedua telapak tangannya yang bertumpu di atas batu-batu itu juga terasa ngilu. Bahkan, Hinata menemukan beberapa kerikil menancap di telapak tangannya.

"Hinata! Aduh, mana yang sakit? Bisa bangun gak?" seru Ino panik, "Sini, sini, Ta," ujarnya sambil membantu Hinata berdiri.

"Aw, aduh.. bentar.." Hinata merasakan sakit yang luar biasa pada kedua lututnya, berhenti bergerak sebentar, lalu berusaha untuk berdiri lagi hingga akhirnya ia pun kini berdiri tegak dengan Ino yang masih memeganginya.

Beautiful Secret (SASUHINA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang