Bab 17

5.2K 365 17
                                    

Happy reading...

“Yang mengatakan kamu asistenku itu siapa?” Agra mencibir dengan suara pelan. “Kau istriku!” lanjutnya lebih pelan dari sebelumnya.

Sekar tertegun mendengar kalimat itu, saat menoleh ia mendapati wajah pria itu sudah berpaling kearah lain.

“Mamaku mengatakannya kemarin bukan?” Agra menoleh tepat ketika Sekar mengalihkan pandangannya. Cukup lama Agra menunggu Sekar merespon ucapannya.

Wanita itu sibuk mengeluarkan satu kotak sterofoam putih berisi gado-gado ayam serta dua botol air mineral dari dalam kantong plastik bertuliskan salah satu nama minimarket. Ia lantas menyodorkan makanan tersebut kepada Agra yang masih memperhatikan gerak-geriknya. 

“Ada lagi yang Anda butuhkan?” Pertanyaan Sekar membuat Agra terkesiap. “Jika sudah tidak ada lagi, saya akan memulai pekerjaan saya,” lanjutnya seraya melihat kearah laptop serta tumpukan map yang di bawanya. Agra memintanya untuk membawa semua itu saat menyuruhnya datang ke rumah sakit. Kalau Dahlia tidak lebih dulu menghubunginya tadi pagi untuk menjaga Agra, Sekar tentu akan menolak permintaan pria itu. Kenyataan ia harus menghabiskan banyak waktu di satu ruangan bersama Agra membuatnya tidak nyaman, setidaknya di kantor mereka terhalang dinding dan pintu.

“Kamu belum menanggapi ucapanku!” ujar Agra menghentikan niat Sekar yang akan menghela ke sofa.

Sekar menoleh dengan wajah datar. “Apa?”

Melihat reaksi Sekar membuat Agra meradang, tapi alih-alih meluapkannya ia memilih untuk membuang wajah. “Lupakan!” balasnya kesal.

Sekar tercenung, ia sebenarnya mengerti apa yang di maksud oleh Agra namun memilih tidak membahasnya karena ia sendiri bingung dengan status mereka. Dan lagi membahas soal pernikahan mereka hanya akan membuatnya merasa hina. Menjadi istri kedua dari suami sahabatnya sendiri, sangat pantas jika dulu semua orang menganggap buruk dirinya.

***

“Minta Dina untuk mengirimkan file-nya ke emailku!” titah Agra pada Sekar saat diberitahu jika sekertarisnya yang di kantor pusat baru saja menghubungi wanita itu untuk menanyakannya.

“Baik,” jawab Sekar singkat sebelum mengetikkan balasan di ponselnya.

Tak lama dari itu terdengar notifikasi email masuk di ponsel Agra, namun pria itu tidak langsung membukanya. Bahkan ia membiarkan benda pipih itu menggeletak di atas nakas tanpa menyentuhnya sama sekali.

“Pak, Mbak Dina meminta Anda untuk segera menandatangani dokumen itu,” ucap Sekar saat melihat Agra hanya diam menatap langit-langit.

“Apa kamu telah ketularan Dina?”

“Maksudnya?” Sekar menatap Agra bingung.

Agra balas menatap. “Cerewet!” lantas ia meraih ponsel tersebut dan mulai melakukan apa yang di minta kedua sekertarisnya tersebut. “Satu Dina saja sudah cukup membuat telingaku sakit, kamu jangan ikut-ikutan seperti dia!” imbuhnya.

Kalimat pria itu sukses membuat Sekar tersenyum saat sesosok wanita berambut pendek dengan kaca mata tebal terbayang di kepalanya. Dulu saat masih tinggal di rumah Agra dan Tyas, Sekar sering melihat Dina karena wanita berusia empat puluh tahunan itu sering datang ke rumah. Hanya saja dulu Sekar kerap bersembunyi jika ada tamu yang datang, jadi wajar jika kini Dina tidak mengenalinya saat ia memperkenalkan diri sebagai sekertaris Agra di kantor cabang menggantikan Dewi.

“Kinerja Mbak Dina pasti sangat baik, makanya Anda terus mempertahankannya,” cetus Sekar tanpa memudarkan senyuman diwajah.

Agra mendengkus. “Yeah, sampai-sampai aku berulang kali berniat ingin memecatnya!”

Dia Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang