Bab 14

5.2K 354 13
                                    

Happy reading...

Hendri mengibaskan lengan. “Hanya mampir, tadi tidak sengaja lewat di daerah sini jadi aku sekalian mampir. Benarkan Sekar?”

Sekar menunduk sembari mengangguk dengan pelan, kedua tangannya mengepal kuat di samping tubuh. Tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan Hendri Darmawangsa di kantor Agra. Bagaimana ia bisa lupa jika ia dan Agra pernah bertemu di kantor Hendri, bukankah itu artinya kedua pria itu saling mengenal?

Agra hanya menyimak seraya menatap datar Sekar. Ia tentu tahu jika Sekar dulu pernah bekerja di perusahaan Hendri, namun tidak menyangka jika Hendri mengenali Sekar. Ia mungkin perlu menanyakannya setelah ini.

“Kalau begitu ayo silahkan masuk!” ajaknya pada Hendri yang masih tersenyum lebar.

Usai Hendri memasuki ruangannya, Agra lantas mendekati meja Sekar. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, menatap Sekar curiga.

“Apa?” Sekar mendongak, bingung mengapa tiba-tiba Agra bertanya demikian.

“Wajahmu tampak pucat, apa kau sakit?” Tatapan Agra menajam.

Sekar mengerjap, tercenung menyadari adanya kekhawatiran di suara Agra. Sesaat pertanyaan pria itu membuatnya melupakan kekhawatirannya akan Hendra Darmawangsa. “Tidak Pak, saya baik-baik saja,” sahutnya segera menundukkan pandangan.

Agra diam sejenak. “Oke, kalau begitu buatkanlah minuman untuk Pak Hendra!” titahnya sebelum beranjak dari meja Sekar.

“Baik Pak.” Sekar menjawab pelan.

Oh Tuhan, apalagi sekarang? Tidak bisakah ia menjalani kehidupan tanpa adanya kejutan-kejutan di setiap harinya? Ini sungguh bukan hal yang mudah menghadapi dua pria paling di hindarinya sekaligus.

Dengan tangan sedikit gemetar, Sekar mengetuk pintu ruangan Agra untuk mengantarkan minuman buatannya.

“Oh Sekar, apakah kau mengantarkan minuman untukku?” tanya Hendra dengan riang, sorot matanya seketika berbinar  begitu melihat kemunculan Sekar yang mulai memasuki ruangan.

Berusaha terlihat tenang, Sekar hanya melemparkan senyum menanggapi pertanyaan pria paruh baya itu. “Silahkan di minum Tuan!” ucapnya saat menaruh gelas dan setoples camilan di atas meja—di hadapan Hendra yang duduk di sofa .

“Ku harap kopi buatanmu masih enak seperti terakhir kali kau membuatkannya untukku!” goda Hendra seraya mengangkat gelas kopi yang Sekar sajikan untuknya.

Merasa tidak nyaman dengan ucapan Hendra, Sekar seketika berdeham gugup. “Maaf Pak, sudah bolehkah saya kembali ke meja saya?” tanyanya pada Agra yang tengah mengawasi di kursi kebesarannya.

“Kenapa buru-buru?” sela Hendra sebelum Agra sempat menjawab. “Tidakkah sebaiknya kita berbincang-bincang dulu disini sebagai dua orang yang dulu pernah dekat?”

Kata-kata yang Hendra lemparkan membuat Sekar merasa panik dan reflek melirik kearah Agra. “Tolong Anda jangan berkata seperti itu, seakan pernah ada sesuatu di antara kita! Itu akan membuat orang lain yang mendengar akan salah paham!” tegasnya.

Tawa Hendra sontak membahana, menyeruput kopinya sejenak sebelum meletakkan kembali gelas itu di atas meja. “Di ruangan ini hanya ada kita dan Agra! Dan asal kau tahu, tidak ada rahasia di antara aku dan Agra!” tukasnya sembari mengedipkan sebelah mata.

“Tapi itu tidak benar! Tidak pernah ada apa-apa diantara kita!” Sekar meninggikan suaranya. “Tolong jangan membuat fitnah!” Jemari Sekar mengepal.

“Sekar!” panggil Agra. “Keluarlah!”

Sekar menoleh kepada Agra, berpikir sejenak  apakah pria itu mempercayai ucapan Hendra di bandingkan dirinya. Tapi memangnya untuk apa ia berlelah-lelah menjelaskan kepada orang yang  sejak dulu sudah menilainya buruk?

Dia Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang