VI. Hujan Kemarin

3 1 0
                                    

"Tunduk kalian semua!"

Bentakan itu mengejutkanku, tatapanku dengan cepat beralih menatap pintu. Seseorang menodongkan senjata tajam dan sentak membuat beberapa orang dari tim produksi berteriak. 

"Tunduk!" Dia mengulangi perintah sebab melihat tak ada seorang pun yang menuruti perkataannya.

Setelah bentakan kedua itu, kami semua pun menunduk, takut diserang dengan senjata yang dia bawa.

Namun, aku tiba-tiba teringat akan suatu hal, hal yang menjadi trauma terdalam. Saat 'dia', suami yang kucintai sepenuh hati menodongkan pedang ke arahku. Mataku seketika memanas, pelupuk mataku berair, dan jantungku memompa cepat.

"Serahkan semua ponsel kalian!"

Kulihat tiga orang maju untuk mengambil alat elektronik kami. Aku tak kehabisan akal, segera kukirimkan pesan ke Alan agar dia tahu kondisiku saat ini. Setidaknya jika aku mati di sini, aku masih sempat menghubunginya.

Untung saja aku sempat mengirimkan pesan dan mematikan ponselku. Ketika seorang pria berbadan besar itu datang, dia merampas ponselku dengan sangat kasar. 

"Kau Alene?" Dia menyahut padaku.

Aku mendongak. Namun, aku hanya dapat melihat hingga dada karena tubuh jenjangnya.

"Oh, ternyata benar kau Alene." Pria itu kemudian menarikku berdiri dan menyeretku mendekat ke bosnya.

Aku ketakutan, seluruh bulu di lengan dan kakiku berdiri. Apa tujuannya menarikku ke sini? Apakah mereka mengenalku?

"Ini Galerimu, 'kan?" tanya bosnya.

Aku hanya mengangguk, tanganku gemetar hebat dan kakiku mulai lemas. Semua orang terdiam, aku yakin mereka juga sama denganku, ketakutan.

"Di mana lukisan yang kau beli dari Eropa? Serahkan ke kami!"

Ternyata mereka datang ke Galeriku untuk merampok lukisan itu. Tak heran jika tak sedikit yang menginginkannya, sebab lukisan itu sangat mahal dan terkenal. Kolega Alan pun menginginkannya.

"Di mana lukisan itu?" Pria yang mencengkram tanganku mendorong kasar bahuku.

"I ... ikut saya."

Aku pun berjalan duluan dan mereka mengekoriku hingga sampai di sebuah ruangan yang agak tertutup. Di sanalah semua karya terbaikku disimpan dengan rapi dan indah.

Aku membuka pintu itu dengan sidik jariku, hanya aku yang dapat mengaksesnya karena di sinilah semua kesedihan dan kepahitan yang melekat padaku tersimpan. 

"Wah, inikah lukisannya Pak Bos?" tanya seorang pria dengan tubuh lebih pendek dibanding yang lain.

Pria yang dia panggil Bos mengangguk antusias, tak lama dia membuka topengnya di hadapanku dan seketika membuat jantungku berhenti sesaat.

"Kalau kita jual ini, kita bisa kaya!" Dia berteriak gembira.

Tanganku bergetar hebat, jantungku berdetak sangat cepat, lebih cepat dibanding biasanya hingga aku merasa nyeri dahsyat di dadaku. Aku berusaha sangat keras untuk mendapatkan oksigen di sekitarku saking sesaknya.

"Ar ... Argan?" Aku terjatuh, terduduk tak berdaya di lantai. Mereka tak menghiraukanku karena sibuk dengan lukisan itu.

Mulutku sedikit terbuka, membantu hidungku untuk mendapatkan lebih banyak oksigen sembari tanganku menekan dada kiri yang sakit.

Bagaimana bisa pria itu berada di sini? Pria bejat dan brengsek yang membuatku harus dibunuh oleh suamiku sendiri. Suami yang sangat kucintai dan kuhormati.

BERPUTAR DALAM BELENGGU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang