Aku tak menemukannya lagi, suara yang waktu itu terdengar dari kegelapan kamar. Aku ingin berbicara dengannya, sekali saja. Namun, sepertinya dia tahu hal ini akan terjadi dan tidak mau menemuiku lagi. Jujur saja aku bahagia bertemu dengan Alan, meski di satu sisi aku masih tidak berani menatapnya dan trauma dengan masa laluku.
Bagaimana jika masa lalu itu kembali terjadi?
Ah, mana mungkin. Pasti tidak akan terulang jika aku menghindarinya. Aku hanya perlu mengabulkan apa yang Alan inginkan dan pergi dari kota ini. Masalah Galeri akan aku urus belakangan.
Suara klakson mengagetkanku, aku segera mengintip dan terkejut melihat mobil Alan terparkir di depan rumah. Aku segera bangkit dan meraih tas pinggangku di nakas kemudian meninggalkan rumah.
Dengan gugup disertai malu, aku membuka pintu mobil Alan.
"Selamat pagi, apakah aku mengganggumu?" Alan langsung bertanya demikian kepadaku.
Aku menggeleng kecil. "Kita kan sudah janji mulai projeknya hari ini."
"Apa nggak masalah kerja projeknya di rumahku? Kalau kamu keberatan, bilang saja." Alan menyalakan mesin mobilnya dan melaju dengan kecepatan lambat.
"Tidak. Mau di mana saja aku tidak masalah. Yang penting projek ini cepat selesai." Aku menjawab dengan mata yang beberapa kali curi pandang.
Alan mengangguk paham. "Kalau kamu perlu sesuatu, langsung bilang ke aku. Nanti aku yang persiapkan semuanya untukmu."
Malam kemarin Alan setuju dengan persyaratan yang aku berikan. Namun, dia memintaku mengerjakan semuanya di rumah dia agar aku tidak kesulitan mencari bahan dan sebagainya. Kata Alan, jika dia tidak bisa membeli jasaku, maka dia yang akan menanggung segala kebutuhanku selama mengerjakan projek ini. Aku tidak masalah, pokoknya setelah projek ini selesai, aku tidak ingin terlibat apapun lagi dengannya.
****
Kami tiba di rumah Alan tepat pukul 10.00 pagi. Tadi kami juga mampir ke Galeriku untuk mengambil lukisan itu, sekalian dia melihat-lihat lagi karya terbaikku.
Ketika aku masuk ke rumahnya, wangi kayu manis langsung menyambutku. Sekali lagi aku teringat dengan dirinya yang dulu, membuat aku tersenyum tanpa sadar.
"Aku melukis di mana?" tanyaku.
"Di lantai atas, di ruang kerjaku." Aku mengekorinya hingga tiba di ruangan yang dia maksud.
Wah, mewah sekali tempat ini. Cat putih berpadu dengan furnitur warna emas, memanjakan mataku ketika melihatnya. Kulihat meja besar di depan jendela kaca seukuran tembok, sepertinya aku akan betah berada di sini.
Alan membuka tirai kamarnya dan wah, aku sangat takjub. Lautan terbentang luas di hadapanku. Lautan yang kucintai hingga gila kini dapat kunikmati sepanjang hari di rumahnya. Nikmat mana lagi yang kudustakan setelah ini?
"Kamu suka?" tanya Alan, sepertinya dia sadar dengan reaksi kagumku. Namun, tunggu dulu, kalimat itu terasa familiar.
Aku menoleh padanya, menatap dia penuh tanya.
"Kenapa?" Alan tampak bingung.
Ah, mungkin saja aku salah. "Nggak."
Aku sangat ketus pada Alan, bukan tanpa sebab, hal itu aku lakukan karena aku berusaha jaga jarak dengannya.
"Kamu bisa mulai sekarang." Alan menyiapkan kanvas, standing frame, beserta pallet yang akan kugunakan. Semuanya lengkap dan aku hanya harus mulai melakukan pekerjaanku.
"Aku akan keluar, kalau kamu butuh aku, panggil saja." Alan lalu keluar dari ruang kerjanya dan menutup pintu rapat-rapat.
Aku banyak diam jika berbicara dengannya, jika dia bertanya akan aku jawab seadanya. Kubiarkan dia terus mengoceh di depanku karena aku rindu dengan suaranya.
Aku pun duduk di depan kanvas putih itu, kupandang sejenak lukisan yang menjadi objekku. Lukisan yang penuh arti bagiku, lukisan yang kubeli karena mengingatkan aku dengan kehidupan masa laluku.
"Baiklah, mari kita mulai."
****
Aku menyelesaikan sepuluh persen dari lukisan itu, rasanya cukup lelah meski aku sudah sering melakukan kegiatan ini. Lukisan yang sangat detail itu sangat menguras tenaga dan terasa jelas lelahnya. Aku memilih untuk meregangkan tubuhku, aku bangkit berdiri dan mendekati jendela sebesar tembok itu.
Senyumku terbit, melihat burung dara terbang di atas laut sangat indah. Kenapa aku tidak reinkarnasi jadi burung saja? Agar aku bisa terbang di atas laut sesuka hatiku. Bodohnya aku memilih untuk bangkit menjadi manusia lagi, harusnya aku bisa tenang jika tidak menjadi manusia.
"Bagaimana?"
Suara bariton itu mengagetkanku, aku spontan berbalik badan dan melihat Alan berdiri di ambang pintu sembari memegang cangkir.
"Ada kendala?" Dia kembali bertanya.
"Nggak, semuanya aman. Aku cuma capek, pegel, jadi mau istirahat sebentar."
Alan mengangguk mengerti. Dia kemudian masuk dan meletakkan cangkir yang dia bawa ke atas meja.
"Ini aku bawakan teh. Kalau kamu mau pulang, bilang saja. Nanti aku antarkan kamu pulang."
Aku menggeleng. "Aku bisa pulang sendiri."
"Jangan, rumahku dan rumahmu cukup jauh. Ongkosnya cukup banyak."
"Aku bi--"
"Aku yang antar pulang, oke? Sekarang lanjut lukisanmu." Alan keluar tanpa mendengar jawabanku, membuat aku kesal tapi tak bisa melawannya.
Aku bingung, apakah aku harus menghormati Alan seperti saat aku menjadi istrinya atau tidak?
![](https://img.wattpad.com/cover/364336992-288-k572045.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BERPUTAR DALAM BELENGGU
NouvellesBerupa kumpulan cerita pendek. Cerita dibuat untuk memenuhi hasrat menulis sang penulis. Adakalanya cerita-cerita dibuat secara spontan, hanya untuk menyalurkan apa saja yang ada di otak sang penulis. Selamat membaca dan semoga dinikmati. Cover by P...