Aku pergi mencari Rahayu, kuturuti keinginan Datuk Amahorseja. Jika hanya aku yang akan terusir, tak apa, aku akan menerimanya. Namun, di rumah ada Ibu, rumah itu pun peninggalan Kakek dan Nenek, aku tidak bisa membiarkan rumah itu direbut hak oleh Datuk.
Aku mencari Rahayu, kucari ke seluruh tempat yang pernah kutapaki bersama dirinya. Mana tahu kekasihku berada di sana.
Tak terasa hujan turun, mengguyur aku yang sedang menitikkan air mata. Alih-alih kutemukan Rahayu, aku terjatuh ketika kakiku tak sengaja menabrak kayu. Ah, sialnya aku.
Aku ingin kaya, aku ingin meminang Rahayu. Namun, siapalah aku, aku hanya anak dari seorang petani yang kini sudah meninggalkan aku dan Ibu.
Tak terasa langkahku semakin jauh, tak kunjung aku menemukan kekasihku. Di manakah dia?
Kakiku mulai lelah, aku ingat belum makan sedari pagi. Bajuku juga basah kuyup, tak mungkin kumenemui Rahayu dengan keadaanku yang berantakan.
Aku bergegas pulang, berjalan di atas genangan air berwarna cokelat susu itu. Hujan semakin deras seiring aku semakin dekat dengan rumah, langkahku semakin berat bersamaan dengan hatiku yang semakin tidak ikhlas.
Tatkala rumahku terlihat, terkejutnya aku melihat Rahayu berdiri tepat di depan rumahku. Aku segera berlari mendekati Rahayu, kulepas bajuku dan kugunakan sebagai payung untuknya.
"Dimas." Kudengar Rahayu mengucapkan namaku ketika aku berdiri di sisinya. Pertama kali setelah sekian lama aku mengenalnya dan menjalin kasih dengannya.
Rahayu memelukku, sangat erat.
"Jangan menangis, Rahayu."
Rahayu tidak menjawabku.
"Aku tak suka melihatmu bersedih."
Aku melepaskan pelukan Rahayu, kutarik dia untuk masuk ke rumahku. Di dalam, aku tak melihat Ibu. Aku tak tahu dia kemana.
Kududukkan Rahayu di ranjang kayu kokohku, segera kumencari kain untuk kubersihkan dirinya dari air.
"Tuan, apakah kau mengetahuinya?"
Aku yang tadinya hendak meraih baju bersihku untuknya mematung di tempat. Kepalaku tertunduk lemah.
"Ya, Rahayu. Aku sudah mengetahuinya. Kisah kita telah diujung waktu."
Terdengar Rahayu kembali menangis. Aku segera meraih bajuku dan kembali padanya. Aku berlutut di hadapannya kemudian kubersihkan kakinya dari lumpur.
Kaki yang dulunya berlari bersamaku.
Kaki yang dulunya bermain bersamaku.
Kaki itu, kaki yang telah menemani langkahku dan kisahku.
"Apakah kau rela aku dipinang orang lain, Tuan?"
Aku mendongak, kutatap mata Rahayu dengan dalam.
"Apakah ada engkau melihatnya di mataku, Rahayu?"
Rahayu menggeleng. Aku segera berpindah tempat, aku duduk di sebelahnya.
"Lalu mengapa kau berpikiran demikian?"
Rahayu menunduk, suaranya semakin serak. Aku meraih kedua tangan Rahayu dan kugenggam erat.
"Apakah kau tidak ingin bersamanya, Rahayu?" Aku bertanya lembut. Selembut sutra meski hatiku tidaklah selembut itu menerima kabar Rahayu akan segera menjadi bini orang.
"Jika aku menerimanya, sampailah hatiku menyakitimu, Tuan."
Aku tersenyum kecil, kutahan tangisku yang sedaritadi memaksa keluar hingga jelas pedih itu semakin meraung-raung di dalam diriku.
"Pulanglah, Rahayu. Datuk sedang khawatir di rumah. Tak habis makanan disantap olehnya sebab cemas." Aku mencoba membujuk Rahayu, sesaat setelah aku berusaha tegar dengan rasa sakit yang teramat dalam.
"Aku tidak akan pulang, Tuan! Aku tidak ingin menikah dengannya! Rahayu hanya mencintai engkau seorang!" Rahayu menolak dengan tegas, tak pernah kulihat Rahayu seperti ini. Sedalam itu perasaannya kepadaku. Namun, nasib miskin semakin menjadi tinta hitam dalam kehidupanku.
"Apakah kau tega kepada Datuk?"
Rahayu menggeleng lemah. Kulihat emosinya terkuras habis di rumahku yang lapuk ini.
"Lantas pulanglah, Rahayu. Katakan pada Datuk bahwa engkau baik-baik saja."
Rahayu terdiam cukup lama, tampaknya ia sedang berpikir sedemikian keras.
"Jemput aku, Tuan. Malam nanti aku akan kawin lari denganmu."
Aku terkejut mendengar pernyataan Rahayu, senekat itu dirinya untuk bersamaku.
Aku menghela pelan, kutarik sudut bibirku agar mengembang lebih lebar.
"Aku berjanji Rahayu, aku akan menjemputmu malam nanti."
Kisah cintaku berakhir pada sore hari itu setelah kuantar Rahayu kembali pada keluarganya. Datuk Amahorseja segera memberiku uang yang cukup banyak, tetapi aku menolaknya dan memintanya untuk tidak lagi menagih hutangku waktu itu.
Malam itu aku tak menjemput Rahayu, aku berdiam diri di dalam kamar dan menangis sekuatnya. Beberapa kali Ibu mengetuk kamar, cemas dengan keadaanku.
Aku melepas Rahayu, cinta pertama dan terakhirku.
Setelah beberapa hari, aku mendengar Rahayu telah menikah dengan Saudagar kaya itu. Tak kuat menahan semuanya, aku memilih keluar dari rumah dan meninggalkan kampungku. Tak lupa kuberi sebagian besar pendapatanku kepada Ibu agar dapat merawat dirinya sendiri selama aku pergi untuk melepas rasa sakitku.
Namun, enam bulan kemudian aku kembali ke kampung sebab kudengar Ibu sakit dan tak lama ia meninggalkanku. Lukaku semakin sobek ketika aku melihat Rahayu menggendong seorang bayi, ia terlihat bahagia dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.
Rahayu tampak telah bahagia tanpaku. Aku lega melihatnya tersenyum seperti itu, setidaknya dia tak lagi bersedih ketika mengingatku.
Aku kembali merantau, aku pergi jauh hingga kakiku lelah melangkah dan berakhir di ranjang lapuk dengan keadaanku yang semakin memprihatinkan. Sebentar lagi ajalku tiba, aku yang dulunya adalah seorang pemuda miskin kini menjadi pria tua yang sebentar lagi mati.
"Apakah kau tahu bagaimana kabar Rahayu sekarang, Kakek?" Adit bertanya setelah mendengarkan kisahku yang panjang dan rumit.
Aku menggeleng lemah, jujur saja aku tak tahu sejak terakhir kali kulihat Rahayu bersama anaknya.
"Mengapa kau sangat mencintainya, Kakek? Apakah Rahayu sangatlah cantik?" Adit bertanya lagi, kali ini lebih intens.
"Ya. Tentu saja dia sangat cantik di mataku. Hatiku berhenti berlabuh kepadanya, hanya dia yang mampu membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya."
"Kalau aku jadi engkau, aku pasti akan melakukan hal yang sama jika memang dia secantik itu, Kakek. Aku tak akan meninggalkannya seperti Bapak meninggalkan ibuku."
Aku tersenyum mendengar pernyataan Agus.
"Jangan Agus. Ikhlaskan jika memang dia bukan jodohmu."
Belum sempat Agus menjawab, kudengar suara ibunya berteriak dari sebelah rumahku. Sudah saatnya Agus pergi mengaji.
Agus segera mengambil kembali baskom merah di bawah ranjangku, rautnya terlihat kecewa.
"Yah, aku masih ingin bertanya banyak hal, Kakek. Setelah aku pulang, aku akan menemuimu lagi untuk bertanya, ya?"
Aku mengangguk mengiyakan.
Setelah itu, Agus keluar dari rumahku dan bersiap untuk berangkat ke masjid. Namun, malangnya Agus yang penuh dengan tanda tanya. Kondisiku semakin memburuk, dadaku sesak dan sakit serta beberapa kali aku mengucapkan syahadat.
Tak lama, aku memejamkan mata dan mungkin inilah saatnya aku kembali ke rumah Tuhan sebelum kuceritakan lebih banyak lagi tentang Rahayu.
Inilah akhir dari rasa sakitku, akhir dari kepahitan, dan akhir dari hidupku.
TAMAT
![](https://img.wattpad.com/cover/364336992-288-k572045.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BERPUTAR DALAM BELENGGU
Short StoryBerupa kumpulan cerita pendek. Cerita dibuat untuk memenuhi hasrat menulis sang penulis. Adakalanya cerita-cerita dibuat secara spontan, hanya untuk menyalurkan apa saja yang ada di otak sang penulis. Selamat membaca dan semoga dinikmati. Cover by P...